Jumat, 09 Januari 2009

Maestro Kesenian Tradisional asal Sulsel [tiga]


Abdikan Hidup Lewat Tabuhan Gendang

SERANG Dakko, penabuh gendang papan atas di daerah ini. Bersama Mak Coppong, lelaki yang akrab disapa Dg Serang, itu juga dinobatkan sebagai maestro kesenian tradisional asal Sulawesi Selatan.

****

SUASANA areal rumah adat Benteng Somba Opu, sudah diselimuti keremangan. Bias cahaya matahari, hanya menyisakan rona jingga di ujung awan sebelah barat. Sebuah lampu jalan pun mulai menerangi bentangan pavinblok yang mengarah ke lokasi situs sejarah tersebut.

Tepat di depan Tongkonan,--rumah adat Tana Toraja--penulis menghentikan kendaraan. Di tempat, sebuah rumah panggung plus panggung pertunjukan tempat kediaman Dg Serang, maestro kesenian tradisional dengan instrumen gendang. Sebelumnya, penulis telah mengatur janji untuk bertemu dan mengutarakan perihal kedatangan.

Saat ditemui, Dg Serang baru saja menunaikan salat magrib. Beberapa keluarganya, tampak berada di bagian belakang rumah. Mata penulis langsung tertuju pada deretan gendang berbagai ukuran yang berada di belakang kursi sofa milik tuan rumah.

Tanpa berbasa- basi, Dg Serang langsung membuka perbincangan setelah mengecilkan volume televisi 21 inci di ruang tamu.


“Gendang sudah menjadi teman hidup yang sangat akrab. Sangat banyak pengalaman menarik yang saya dapatkan lewat alat musik tradisional ini,” ujar Dg Serang.


Mata Dg Serang menerawang. Kisah masa lalu terputar kembali. Dilahirkan di Desa Kalaserena, Kabupaten Gowa pada 1939. Belajar menabuh gendang saat masa penjajahan Belanda. Usianya masih kanak-kanak, waktu itu.

Secara alami, bakat menabuh gendang diturunkan oleh
bapaknya. Dg Parincing yang dikenal sangat iawai memainkan alat musik itu.

Aktivitas kesenian Dg Serang, terus berlanjut hingga awal kemerdekaan republik ini. Usianya yang memasuki masa remaja kala itu, dihabiskan ikut bersama rombongan ayahnya. Serang remaja, bahkan sudah dipercaya menjadi pengiring Tarian Pakarena yang kerap memenuhi undangan untuk acara pementasan.

“Setiap hari saya diingatkan oleh orangtua untuk serius berlatih menabuh gendang. Katanya, semakin lama berlatih maka aura gendang akan menyatu dengan penabuhnya,” kenang Dg Serang akan nasihat sang ayah.

Belajar secara otodidak, gigih dilakukan Dg Serang. Prinsipnya, tanpa pendidikan formal pun tabuhan gendang akan bisa dikuasai. Intinya telaten berlatih. Dan, benar saja. Dalam waktu beberapa tahun, ia sudah piawai memainkan alat musik khas Makassar itu.

Pada 1960-an, beberapa seniman Sulsel turut berlatih pada ayahnya. Salah satunya adalah Nani Sapada dan Paselleng. Pertemuan itulah yang membuat Dg Serang kian melejit dengan kariernya. Ia dipercaya menjadi pengiring tari-tari Nani Sapada dalam berbagai pertunjukan yang berskala besar.

“Waktu itulah saya mulai menginjakkan kaki di luar negeri. Saya tidak pernah membayangkan hal itu,” ujarnya polos.


Meski mengaku menyerahkan hidup dan matinya pada gendang, namun perasaan Dg Serang untuk berkeluarga selalu membara. Akhirnya, ia mempersunting seorang “bunga desa” bernama Dg Baji. Saat itu, usia Dg Serang menginjak angka 32 tahun.


Untuk menghidupi keluarganya, Dg Serang hanya berharap welas asih dari penduduk yang menggelar pesta pernikahan atau sunatan. Dari tabuhan gendang itu, ia mampu mencarikan nafkah bagi keluarga.


“Kesenian telah membentuk saya untuk selalu gembira menghadapi kehidupan. Saya tidak pernah mengeluh dan menjalani hidup apa adanya,” tandasnya.

Dari hasil perkawinannya dengan Dg Baji, Dg Serang dikarunia empat anak. Mereka, adalah Cece, Indrawati, Irwan, dan Arianto. Sayangnya, tak satupun dari keempat anaknya tersebut yang dilihat langsung oleh Dg Serang saat dilahirkan.

Lagi-lagi, profesi menabuh gendang telah “merenggut”semuanya, meski itu hanya sekadar menemani istri tercinta menyabung nyawa saat melahirkan. Saat anak pertama dan kedua lahir, Dg Serang mengaku berada di Thailand dan Singapura. Sedangkan, pada saat anak ketiga dan keempatnya dilahirkan, master gendang ini sedang menggelar “konser” di Bali dan Jakarta. (bersambung)

Tidak ada komentar: