Jumat, 09 Januari 2009

Maestro Kesenian Tradisional Sulsel [empat-selesai]

Digelari Bapak Gendang Dunia, Diabaikan Tim I Lagaligo

PENGALAMAN menabuh gendang sejak kecil membawa Dg Serang melanglang buana ke luar negeri. Hasilnya, oleh orang-orang “asing” itu, dia dianugerahi gelar “Bapak Gendang Dunia”. Padahal, di negeri sendiri, dia pernah dicampakkan.

*****

Luar biasa! Kata itu yang terlintas dalam benak penulis saat bertemu Dg Serang. Betapa tidak, gendang telah menjadi “istri” pertama baginya. Boleh jadi, dalam pikiran Dg Serang, “bersetubuh” dengan gendang adalah kenikmatan yang tiada taranya.


Untung saja, Dg Baji, perempuan yang dinikahinya tidak pernah cemburu, meski harus “diduakan”. Sebaliknya, mampu memahami kehidupan suaminya. Dg Baji tetap tabah. Bahkan, tidak henti-hentinya memberikan support dan motivasi agar Dg Serang, sang suami tercinta, terus menekuni kariernya.

“Ia perlu dorongan dari keluarga dan di situlah peran saya sebagai pendamping hidupnya,” tutur Dg Baji.

Spirit itulah, Dg Serang bebas melakoni profesinya. Iapun mengakui dukungan keluarga modal terbesar menjaga “warisan” tersebut.

Saat melawat ke beberapa negara, Dg Serang tampil memukau. Di Hongkong ia mengikuti pagelaran yang disebut Tunrung Rincing --sejenis rampak gendang-- yang diikuti para jawara gendang dari berbagai belahan dunia.

Di antaranya, India, Swiss.
Di tempat ini, Dg Serang tampil all out. Kelihaiannya menabuh gendang mampu membuka “mata” dunia. Saat itulah pula ia langsung digelari “Bapak Gendang Dunia”.

Mendapat gelar itu, Dg Serang bukannya berbangga hati. Menurutnya, pengakuan bukanlah akhir dari titian karier. Ia tidak butuh pengakuan. Namun butuh apresiasi seni tradisional perlu mendapat perhatian untuk terus dikembangkan.

Lagipula, meski mendapat pengakuan dunia, tidak memuluskan jalan Dg Serang di daerahnya sendiri. Hal itu terlihat saat adanya proyek pementasan naskah Sureq I Lagaligo di luar negeri.


Casting tim yang digelar penyelenggara tidak mampu meloloskan penabuh senior ini. Padahal, para penabuh yang diikutkan tak lain adalah “murid-muridnya”.


“Saya menghormati proses seleksi itu. Tak diikutkan di Lagaligo bukan berarti saya berhenti menabuh gendang,” ucap Dg Serang sambil mengusap wajah keriputnya.


Dg Serang menilai jika aktivitas kesenian di Makassar sudah tidak sehat lagi. Indikasi saling sikut kiri-kanan beberapa kali dipertontonkan pelaku kesenian. Bahkan, cenderung tidak memikirkan nasib dan pengembangan kesenian di Makassar.


Kelanjutan kesenian tradisional Dg Serang memasuki babak baru pada tahun 1991. Saat itu, pengelola Pembangunan “Taman Mini” Sulsel, Benteng Somba Opu, Dr Muchlis Paeni meminta dirinya menetap di lokasi itu. Selain mengembangkan kesenian, status Dg Serang juga bertambah sebagai tenaga keamanan.

Di tempat ini, ia lebih leluasa mengembangkan kreativitas seni, sekaligus melatih ilmu dan keterampilan kepada generasi muda yang ingin belajar.
Setahun sebelumnya, ia mendirikan Sanggar Seni Alam.

Nama ini didasari atas personelnya yang terbentuk secara alamiah, tanpa melalui pendidikan formal. Di perkumpulannya yang baru ini, ia mengajar menabuh gendang dan tari klasik Pakarena.

Ia juga merangkul beberapa seniman tua untuk bergabung di sanggarnya. A
lat gendang di rakit sendiri. Itu dilakukan agar bentuk dan ukuran gendang bisa sesuai dengan keinginan.

“Jika gendang tidak sesuai dengan ukuran badan, maka irama dan posisi saat menabuh akan jauh berbeda. Itu juga bisa membuat bagian tubuh sakit seusai pentas,” tuturnya.


Lalu apa yang paling berkesan dalam hidup Dg serang? Ditanya demikian, Dg Serang menundukkan kepala. Sejenak ia mengisap rokok yang baru saja dibakarnya.

“Saya tidak akan pernah lupa saat kunjungan ke Thailand. Di negeri ini saya dan beberapa seniman hampir meninggal,” ucapnya lirih.

Sekiranya, lanjut Dg Serang, rombongan penabuh gendang dan penarih Pakarena tidak cepat meninggalkan Thailand, boleh jadi mereka tidak ditemukan lagi. Pasalnya, hanya sehari setelah meninggalkan negeri Gajah Putih itu, gelombang Tsunami 26 Desember 2004 mengoyak wilayah penginapan rombongan asal Sulsel.

“Saya lihat di televisi, hotel dan lokasi kami pementasan hancur disapu air laut. Saya bersyukur bisa selamat dari bencana menakutkan itu,” ungkapnya.

Luput dari maut itu, menjadikan Dg Serang memetik hikmahnya. Ia meyakini jika sang pencipta telah memberikan petunjuk untuk terus mengembangkan budaya tradisional Sulsel. Hal itulah yang membuat keikhlasannya mengabdikan hidup pada gendang, terus membukit.

Dinobatkannya Dg Serang sebagai maestro kesenian tradisional seakan melengkapi kesempurnaan kesenian Sulsel di Indonesia. Ketelatenan dan komitmen berkesenian membuahkan pengakuan. Dua tokoh daerah ini berhasil mengawinkan gelar maestro. Penari oleh Mak Coppong, dan penabuh gendang oleh Dg Serang. (parisabdi@yahoo.co.id)

Tidak ada komentar: