Sabtu, 10 Januari 2009

Maestro Kesenian Tradisional asal Sulsel [satu]



Mak Coppong, Penari Istana hingga Keliling Dunia

PENGABDIAN tidak mengenal usia. Hal itulah yang dibuktikan oleh perempuan paruh baya ini. Dialah
Coppong Dg Rannu, sang maestro tari tradisi asal Gowa, Sulawesi Selatan.

******

TIDAK ada yang istimewa saat penulis menyambangi kediaman Coppong Dg Rannu, 89, Kamis 17 Juni 2008. Perempuan tua yang akrab dipanggil Mak Coppong itu menghabiskan masa tuanya di sebuah dusun bernama Lompokiti, Desa Kampili, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa.

Rumah panggung sederhana. Halaman cukup lapang. Bagian dinding rumah berlubang termakam rayap. Terali jendela terbuat dari batangan kayu. Nyaris patah, saat penulis mulai menaiki rumah yang memiliki teras berukuran sekira 3x2 meter itu.

Seisi ruangan rumah tanpa hiasan perabot yang mewah. Hanya terdapat sepasang kursi dan sebuah
televisi berukuran 21 inchi yang dipasang pada sebuah lemari kayu di ruang tengah.

Meski tampak
sederhana, namun bagian tengah rumah disekat menjadi empat kamar; dua sisi kiri, dua di sebelah kanan. Kamar didesain belahan-belahan bambu dicat kuning, itu tampak natural.

Persis suasana di
luar rumah yang diapit dengan pepohonan yang rimbun. Di dinding kamar bergantung dua buah gitar listrik. Sudah lapuk. Beberapa bingkai foto dan piagam penghargaan dari empunya rumah, turut menjadi properti isi ruangan itu.

Di rumah inilah, Mak Coppong menghabiskan sisa usianya. Dilihat dari kondisi rumahnya, orang mungkin
tidak percaya jika di tempat itu hidup seorang seniman besar yang dimiliki bangsa ini.

Mak Coppong
telah mendapat pengakuan sebagai salah satu maestro tari tradisi Indonesia. Penghargaan tersebut ia terima dari presiden atas nama Menteri Kebudayaan pada tanggal 4 Juni 2008 lalu di Jakarta.

Mak Copong setia menari sejak zaman pendudukan Belanda. Awalnya, ia hanya mengaku ikut-ikutan
menari setelah melihat seorang guru tari bernama Mosai Dg Ngola. Saat itu, Coppong kecil hanya ingin menggembirakan hati kedua orangtuanya.

“Saya belajar tari saat usia sepuluh tahun. Saat itu, tidak ada aktivitas yang lain apalagi namanya pergi sekolah,” kenang Mak Coppong dalam bahasa Makassar.

Hanya saja, kebiasaan menari membuat hati Coppong mulai kecantol. Sedikit demi sedikit, ia mulai
menekuni berbagai jenis tari, seperti Pakarena dan Salonreng. Saat itu, Coppong bersama dengan lima teman belianya, masing-masing almarhum Tija, Mini’, Sawa’, Tonjong, dan Dg Kobo mulai merintis tarian tradisi.

“Kami setiap hari belajar menari. Sejak dahulu guru kami mengatakan jika tarian Pakarena hanya bisa dibawakan oleh enam orang,” urai Mak Coppong yang mengaku tidak tahu mengapa hanya enam orang yang membawakan tarian itu.

Mak Coppong pertama kali menari di Istana Balla Lompoa. Ibu tiga anak itu mengaku tidak pernah
melupakan kenangan tersebut. Bahkan, pada acara istana yang dihadirinya ia kerap menari hingga menjelang subuh.

Hal itu bisa dilakukan hingga tiga malam berturut-turut.
Mak Coppong menari dengan menggunakan rasa. Dirinya yang buta huruf hanya bisa memperkiraan durasi waktu yang diberikan.

Aktivitas menari Mak Coppong mulai terganggu pada tahun 1960. Saat itu, kelompok pasukan DI/TII
mengeluarkan instruksi agar aktivitas tarian dihentikan. Pasalnya, kegiatan itu dinilai bertentangan dengan agama Islam.

Bersama dengan suaminya, Alm Manyerang Dg Serang, Mak Coppong menjalani hari-harinya sebagai
ibu rumah tangga. “Karena kita takut, terpaksa saya dan teman-teman berhenti total. Untuk latihan pun kami sangat ketakutan,” kenangnya.

Pada tahun 1977, setelah sistem pemerintahan telah beralih dari sistem kerajaan, Mak Coppong kembali
bangun dari “tidur panjangnya”. Kali ini, Mak Coppong resmi berpisah dengan rekan-rekannya.

Dengan
tekadnya yang bulat, ia mulai mengumpulkan beberapa perempuan untuk diajar menari. Saat ini, boleh dikata, dari enam penari tradisional Makassar, tinggal Mak Coppong yang tersisa dan eksis untuk menghidupkan kekayaan daerah ini.

Sedangkan lima orang sahabatnya -- satu orang telah
meninggal -- memilih berhenti menjadi penari.

“Katanya mereka malu, apalagi usianya sudah tua semua,” ucapnya.


Pakkarena adalah tarian khas Makassar kuno yang kerap ditampilkan di dalam istana raja-raja Gowa.
Jenis tarian ini menurut Mak Coppong, mencapai 12 tarian. Jenisnya adalah Sambori’na, Mabbiring Kassi, Sonayya, Lambassari, Digandang, Jangan Lea-lea, Yolle atau tari raja, Angka Malino, Lekoboddong, Anni-anni, Biseang I Lau, dan Sanro Beja.

Proses tarian Mak Copong mulai diapresiasi masyarakat dunia setelah bergabung dengan Sanggar
Batara Gowa. Mak Coppong menjadi “selebritis” tari yang pentas di mana-mana. Ia banyak diundang ke berbagai kota, provinsi, dan negara.

Puncaknya, ketika ia ikut tergabung dalam pementasan naskah I
Lagaligo dari tahun 2002-2006 di Asia, Eropa, dan Amerika. Sejibun penghargaan pun melekat pada diri Mak Coppong.

Di antaranya, Anugerah Seni dari Dinas
Pariwisata Sulsel tahun 2000 dan Penghargaan dari Menteri Pariwisata Seni dan Budaya RI tahun 1999. Terakhir dinobatkan sebagai maestro tari tradisi asal Sulsel.

Meski mendapat predikat itu, Mak Coppong tak pernah merasa “puas”.
Dalam usianya yang kian uzur, nenek dari 8 cucu ini masih terus menari. Untuk mempertahankan tradisi itu, ia mengajak seluruh keluarga, anak, kemenakan, dan cucu-cucunya untuk menari.

Meski diakui tidak ada perhatian dari pemerintah Kabupaten Gowa terhadap dirinya, namun kondisi
tersebut tidak menjadi penghambat. Sebab dalam hatinya, Mak Coppong mengaku kekayaan yang dimiliknya sekarang tak ternilai dengan materi apa pun. (bersambung)

Tidak ada komentar: