skip to main |
skip to sidebar


Mereka Meregang Nyawa di Balik Seuntai Asa
Tak ada firasat apa-apa. Lelaki itu berlalu mengantongi secercah harapan.
OLEH: ABDUL RAHMAN
TAKALAR-GOWA
Perempuan tua itu belum berajak dari rumah panggung miliknya. Udara pagi masih menyelimuti kulitnya yang keriput. Tak ada aktivitas yang istimewa hari itu. Waktu menunjukkan sekira pukul 07.00 Wita. Hari itu, Sabtu 22 Nopember.
Dg Jipa, 55, nama wanita itu. Tubuhnya kurus. Tinggi sekira 156 cm. Ia memilih mondar-mandir di dapur. Sejurus kemudian, lamat-lamat namanya disebut. Ada yang mencari dirinya.
Mendengar namanya disebut, Dg Jipa bergegas menuruni tangga rumah. Sembari berjalan, rambutnya yang telah memutih dirapikan, diikat dengan karet.
Bergegas, ia menemui sesosok lelaki yang mendatangi rumahnya. Sedikit ragu, sebab tamu yang tak diundang itu tidak ia kenali. "Dg Nanring". Lelaki itu memperkenalkan dirinya. "Mukanya tidak terlalu tua, berpostur tubuh tinggi," tutur Dg Jipa, saat ditemui di kediamannya, Selasa 24 Nopember.
Sedikit bertanya dalam hati, Dg Jipa menyambut tamunya di kolong rumah. Keduanya berbincang di balai-balai bambu berukuran 4x3. Sebagian tiang penyanggah balai-balai mulai lapuk dikerumuni rayap.
Tanpa basa-basi, Dg Nanring memberitahukan perihal kedatangannya. Intinya, lelaki tersebut hendak mengundang pihak keluarga Dg Jipa membicarakan sengketa tanah yang berada di perbatasan antara Desa Towata dan Desa Tanakaraeng.
"Ia tidak lama. Setelah menyampaikan maksudnya ia langsung pergi," ujar Dg Jipa.
Beberapa saat setelah lelaki itu berlalu, Dg Jipa bergegas ke rumah anak mantunya, Haeruddin. Rumah Haeruddin hanya berjarak 20 meter dari rumahnya. Cukup dengan menyeberang jalan, Dg Jipa sudah tiba.
Tanpa ditanya, Dg Jipa lantas menyampaikan pesan lelaki yang menemuinya. Menurut Dg Jipa, warga Desa Tanakaraeng hendak mencari solusi penyelesaian lahan yang diklaim pihak lain. Waktu pertemuan dijadwalkan, Minggu 23 Nopember, pagi di lokasi lahan.
"Mendapat informasi itu, Haeruddin merasa lega. Apalagi, kasus itu sudah lama hendak dibicarakan secara kekeluargaan," kenang Dg Jipa.
Mendapat ajakan itu, Haeruddin memutuskan berkonsultasi dengan kepala Desa Towata, Hamka T Dg Naba. Selain itu, ia juga mengadukan perihal rencana pertemuan itu kepada Pembina Masyarakat (Binmas) dari Polsek Polongbangkeng Utara bernama, Ishak.
Sepanjang hari Sabtu itu, menurut Dg Jipa, Haeruddin terus berkonsultasi dengan berbagai pihak sekaitan dengan rencana pembicaraan lahan sengketa yang melibatkan pihak keluarganya.
Malam harinya, Haeruddin memilih tetap berada di rumahnya. Ia melewatkan malam itu bersama istri, Dg Bollo, 28. Sesekali ia bercanda bersama anak keduanya, Makbul yang masih berusia 10 bulan.
"Tidak ada firasat jika akan terjadi sesuatu esok harinya," beber istri Haeruddin, Dg Bollo.
Dg Bollo terlihat sedih. Kelopak matanya menyisakan kristal bening. Enggan mengalir. Saat ditemui, wanita itu mengenakan kaos warna krem bergaris cokelat. Plus, sarung kotak warna kuning.
DG Bollo berusaha melanjutkan ceritanya. Matanya tajam, Sembab. Dadanya sesak. Kesedihan bergulung-gulung di rongga dadanya. Tanda-tanda jika malam Minggu tersebut adalah malam terakhir bersama suaminya juga tidak ada. "Ia sempat mengatakan gembira karena sebentar lagi jika masalah tersebut akan segera diselesaikan," kenang Bollo.
****
Minggu, 23 Nopember, Dg Bollo masih menyusui Makbul. Kebiasaan Makmul tiap kali bangun, merengek minta disusui. Sedangkan putera pertama dua pasangan ini, Iskandar, 9 tahun masih terlelap. Maklum, murid kelas lima SD Inpres Homebase Desa Towata Takalar itu sedang libur akhir pekan.
Haeruddin telah bersiap-siap memenuhi undangan warga desa seberang. Tubuh Haeruddin dibalut dengan kemeja warna cokelat plus celana jins warna biru. Tanpa sepengetahuan istrinya, Haeruddin beranjak menuju ke rumah mertuanya, Dg Jipa.
Di tempat ini, Haeruddin meminta bukti pembayaran ganti rugi lahan yang disengketakan. Surat tersebut disimpan oleh mertuanya. Tampak kusut berlipat, meski telah di-press dengan plastik.
Usai meraih surat itu, untuk kesekian kalinya, ia kembali bertemu dengan Kades Towata, Hamka.
"Malah ia mengajak kades untuk ikut serta ke lokasi itu, tapi kades menolak ajakan itu," beber Dg Jipa.
Sekira pukul 07.30 Wita, Haeruddin melenggang menuju lokasi pertemuan yang telah ditentukan. Anak bungsu dari lima bersaudara itu menyelipkan surat kepemilikan tanah di kantong celana bagian belakang sebelah kanan.
****
Pukul 09.00 Wita, Dg Bollo sibuk megupas sisik ikan di dapur. Makbul bermain-main bersama kakaknya di ruang tengah rumah permanen itu. Lantai tak beralas tikar. Hanya ada sepasang kursi plastik, satu meja. Dua buah bingkai foto menempel di dinding. Satu ukuran 10 R. Sisanya berukuran 5 R.
Di dalam bingkai terlihat foto Dg Bollo sembari menggendong, Makmul. Senyum keduanya tersungging manis dari patahan bibirnya. Sebuah meja kayu berbalut kain warna hijau merapat di dinding rumah, bersebelahan dengan posisi kursi.
Dg Bollo baru menyelesaikan beberapa ekor ikan yang dibersihkannya. Namun, tiba-tiba dirinya dikagetkan dengan suara keributan di luar rumahnya. Penasaran, Dg Bollo langsung beranjak dari tempatnya, ia berlari keluar rumah. Di depan pintu, ia diadang beberapa warga.
Bak petir di pagi buta, Dg Bollo mendapat kabar suaminya, Haeruddin menuai musibah. Perasannya kian tidak karuan setelah mendengar kabar jika suaminya terkena tikaman dari beberapa warga. Saat yang bersamaan, Dg Jipa juga tiba menemui anak pertamanya itu. Wanita tua itu turut kaget.
Beberapa saat kemudian, teriakan histeris langsung pecah. Saat itu, Hamzah Dg Sila, terlihat memapah Haeruddin yang sudah sekarat. Sekujur kemeja cokelatnya telah berlumur darah. Haeruddin langsung di angkut ke rumah panggung mertuanya.
"Saya mau larikan ke rumah sakit, tapi tidak ada kendaraan saat itu," ujar Dg Bollo. Matanya kian mulai memerah.
Sekira 20 menit Haeruddin bertarung melawan sakit. Hingga akhirnya pihak keluarga menyaksikan kepala dusun yang sudah lima tahun menjabat itu mengembuskan nafas terakhir.
Sebagian tetangga mulai tumpah melayat. Sebagian di antaranya sungsang dan bertanya-tanya. Hari itu juga, peristiwa ini dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut. Informasi pemicu masih simpang siur di telinga warga.
****
Jauh di seberang sana, hamparan sawah masih berantakan. Beberapa petani sedang memperbaiki pematang dan sisa lahan yang belum tuntas digarap traktor. Sebagian lainnnya, sibuk mencabuti rumput yang tumbuh di antara tanaman di atas pematang.
Sekira pukul 08.40 Wita tiba-tiba, telepon genggam Ilyas Dg Rani, 40 berdering. Satu...Dua ....Tiga..., bunyi dering yang keempat baru ia angkat. Dari balik telepon, kabar buruk menghentakkan perasannya. Tanpa pikir panjang, Ilyas segera menuju ke kendaraan roda duanya dan meninggalkan pekerjaannya. Baju dan celananya masih belepotan lumpur.
Ilyas Dg Rani adalah Kepala Dusun Belampang, Desa Tanakaraeng, Kecamatan Manuju, Kabupaten Gowa. Anaknya, Hasra 13 tahun, baru saja melansir kabar. Beberapa warga dusunnya terlibat perkelahian dengan warga dusun kampung seberang. Jarak antara sawah miliknya dengan lokasi kejadian berkisar 2 kilometer.
"Saya belum tahu pasti kejadiannya. Saya terus memacu motor sambil berusaha menelepon warga lainnya," cerita Ilyas, Selasa 24 Nopember.
Tak berselang lama, Ilyas telah tiba di lokasi kejadian. Jalanan menuju lahan berjarak sekira 200 meter tidak memungkinkan dilalui dengan motor. Selain jalanan menanjak, kondisinya juga berlumpur. Hujan yang mengguyur pada malam harinya, membuat kondisi jalanan semraut. Lokasi itu memang tergolong perbukitan.
Ilyas memilih memarkir kendaraannnya di pinggir jalan. Sebuah mobil mikrolet juga terparkir di tempat itu. Dengan berlari-lari kecil, ia mulai menanjak jalan menuju lokasi sengketa. Di jalanan, ia masih sempat bertemu dengan beberapa wanita yang berlarian. Jerit histeris meraung-raung dari mulut kaum Hawa ini. "Mereka berhamburan sambil teriak-teriak," ujar Ilyas. Beberapa warga juga telah tiba di tempat itu.
Tiba di lokasi itu, Ilyas tak tahu harus berbuat apa. Dilihatnya tiga sosok tubuh telah tersungkur belumuran darah. Beberapa pasang sandal dan topi tergeletak secara terpisah. Di balik kebingungannya itu, ia berhasil mengenali ketiga orang tersebut.
Mereka adalah, Syaharuddin Dg Lawa, Dg Rahim, ipar Syahruddin, dan Baharuddin Dg Nyampa adik Syaharuddin. Nama yang terakhir ini masih dilihat bergerak. Tanpa berpikir panjang, dibantu beberapa warga Baharuddin langsung dipapah menuruni perbukitan itu . Ia menerita luka tebas yang cukup parah di bagian tangannya. "Saya tidak perhatikan tangan apanya yang terluka saat itu," urai Ilyas.
Dua korban lainnya, dipastikan Ilyas, sudah tewas di lokasi sesaat setelah insiden itu. Satu persatu, kedua korban diangkut warga ke atas mobil. Dg Rahim duluan, menyusul kemudian Syaharudin Dg Lawa. Jarak rumah Syaharudin sekira dua kilometer dari lokasi. Mobil bergerak menuyusur liukan aspal butas mengarak tiga korban. Saat itu, jerit tangis istri Syahruddin, Murianti, 38 terus terdengar.
Setelah mobil berlalu, Ilyas memilih kembali ke lokasi bersama puluhan warga lainnya. Beberapa saat kemudian, dari kejauhan asap tebal langsung mengepul. Salah satu rumah warga dibakar massa. Diduga pembakaran itu dipicu oleh amarah wagra atas kematian dua keluarga mereka.
"Saya tidak tahu dari mana massa sehingga dengan cepat membakar rumah itu," imbuh Ilyas.
****
Hujan terus mengguyur saat Fajar bertamu ke kediaman Murianti, dua hari pascainsiden maut itu. Tenda berwarna Orange di halaman rumah dibiarkan terlepas. Volume air hujan yang terus bertambah tidak mampu ditahan. Puluhan kursi plastik berwarna biru masih bertumpuk. Dibiarkan basah.
Di teras rumah permanen bercat merah muda, seorang lelaki setengah baya duduk menghisap sebatang rokok. Hisapan terakhir dihembuskan saat Fajar mulai memasuki halaman rumah. Sarung miliknya ia selempang di pundak.
Di sebelahnya, seorang gadis muda berbaju putih mengutak-atik handphone miliknya. Di bagian depan baju kaos lengan panjang miliknya bertuliskan "Slowlife". Dicetak warna biru muda. Ia mengenakan celana kain panjang warna hitam.
Kedua orang itu langsung berdiri menyambut Fajar. Lelaki setengah baya yang mengenakan celana hitam dan baju putih berkerah itu mempersilahkan Fajar duduk di kursi sofa di teras rumah. Titik percikan air membasahi setelah Fajar duduk di kursi itu.
Setelah menunggu beberapa saat, dari halaman rumah muncul seorang lelaki tinggi besar menghampiri. Ia membawa payung sebagai pelindung hujan. Di kepalanya terpasang songkok haji. "Sebaiknya kita di dalam agar kita bisa leluasa bicara," ajak, Dr Rate, tokoh masyarakat di Dusun Belampang. Saat yang bersamaan Kepala Dusun Belampang Ilyas Dg Rani juga ikut menggabungkan diri.
Di ruang tengah, tidak ada kursi terpasang. Hanya hamparan kapet tebal warna biru dan selembar tikar plastik. Seisi dinding rumah dicat warna merah muda. Tak ada pernak-pernik tertempel di dinding.
Di karpet itu, seorang perempuan telah duduk bersimpuh. Dialah Murianti, istri Syaharuddin. Di sampingnya, perempuan muda yang sejak awal kedatangan kami duduk di teras rumah. Namanya, RisWamati. Gadis yang baru berusia 18 tahun itu adalah mahasiswa Akademi Keperawatan (Akper) Angin Mammiri. Saat ini ia masih duduk di bangku kuliah semester satu. Ia adalah buah perjalanan hidup pasangan Syaharuddin dan Murianti.
Raut muka Murianti masih sendu. Rismawati terlihat berusaha tegar. Murianti menarik nafas berat. Rismawati duduk terdiam. Pandangannya, lurus mengarah ke atap rumah. Murianti tertunduk dalam. Di titik inilah, ibu dua anak itu mulai mengurai detik-detik awal sebelum suaminya terlibat insiden itu.
Secara pasti, ia tidak melihat langsung kejadian itu. Satu yang pasti, ia bersama sang suami berencana mmbantu adik suaminya untuk menanam jagung di lahan itu. Sehari sebelumnya, adik Syaharuddin bernama Syamsuddin Dg Bani meminta bantuan dari keluarganya untuk menanam jagung. Selain Syaharuddin, Syamsuddin juga memanggil saudaranya Baharuddin DG Nyampa, Dg Rahim yang merupakan mertua Syamsuddin dan beberapa keluarga dekat lainnya.
"Pastinya, saya dengan almarhum pagi itu akhirnya memenuhi panggilan itu," kenang Murianti.
Minggu 23 Nopember, pagi, sekira pukul 08.00 Wita, kedua pasangan suami istri ini pun bergegas ke lokasi penanaman jagung. Saat itu, Syaharuddin mengenakan baju kaos warna kuning dan celana bermotif lorong milik TNI.
Pasangan ini lalu menyusuri jalan raya dengan mengendarai motor Honda Supra Fit warna hitam. Beberapa keluarganya; perempuan dan laki-laki, sudah lebih dahulu berangkat dengan mengendarai mobil. Di mobil itu juga bibit jagung yang akan ditanam turut diangkut.
Menempuh jarak sekira dua kilometer, pengendara motor tak banyak bersuara. Tak berapa lama berselang, motor pun tiba di jalan masuk ke lokasi penanaman jagung. Syaharuddin pun memarkir motor di bawah pohon di pinggir jalan. Sekali lagi, tanpa banyak bicara Syaharuddin langsung beranjak menyusuri jalanan menuju lokasi.
Langkahnya yang cepat tidak mampu terkejar istrinya. Murnianti pun tertinggal di belakang. Punggung dan jejak Syaharuddin langsung lenyap di balik semak belukar yang rimbun di sisi kanan-kiri jalan itu.
Murnianti terus berjalan menyusul suaminya. Saat akan mencapai pinggiran lahan, tiba-tiba beberapa perempuan berhamburan diikuti teriakan histeris. Kaget bukan kepalang, Murnianti menghentikan langkahnya. Tanpa bertanya gerangan yang terjadi, ia juga turut balik badan hendak berjalan.
Namun dari kejahuan ia melihat suaminya, diserang hingga lunglai terjatuh. Tanpa pikir panjang lagi, Murniati kembali melanjutkan ke lahan itu. Emosional yang memuncak melihat suaminya tersungkur jatuh, langsung meledak. Dengan teriakan penuh, ia menghampiri suaminya. Darah telah bersimbah di sekujur tubuhnya.
"Saat itu, ia masih bergerak. Saya balikkan badannya berusaha menolong," kenang Murianti. Kali ini Murianti memperbaiki posisi duduknya.
Ia mengaku tidak mengenal orang-orang yang menyerang suaminya. Ia pun tak mempedulikan berapa orang yang terluka saat itu. Kondisi suaminya yang gawat memecah konsentrasi Murnianti. Untuk beberapa saat Murnianti tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terus meratap memanggku tubuh suaminya yang berjuang meregang nyawa.
****
Kematian Syaharuddin merupakan pukulan terberat bagi istrinya, Murianti. Kepergian tulang punggung keluarganya itu serasa mimpi di pagi hari. Tak ada firasat dan tanda-tanda istimewa yang diperlihatkan sebelum maut itu menjemput.
"Tak ada pesan apa-apa yng dititipkan almarhum," singkat Murnianti.
Kematian suaminya, diakui Murnianti sangat menyayat perasaannya. Apalagi kejadiran suaminya di lokasi itu hanya untuk menghadiri panggilan keluarga, demi membantu menanam jagung. "Sama sekali ia tidak tahu apa persoalan yang sesungguhnya," imbuh Murnianti. (*)
[makassar, 1 desember 2008]
Isu flu burung menjadi santapan hangat pemberitaan di media massa. Benarkah, media khususnya jurnalis kerap menggembor-gemborkan kasus ini?****Penyebaran virus flu burung setidaknya menguras perhatian berbagai pihak untuk sejenak berkonsentrasi. Musababnya, virus H5N1 ini dalam sekejap dapat menghilangkan nyawa ratusan bahkan ribuan unggas. Ironisnya, virus yang ditemukan pertama kali di Rusia ini telah menjangkiti umat manusia.Media massa -- cetak dan elektronik-- menjadi bagian penting dari kasus besar itu. Kehadiran penyakit ini selalu dikemas spesial dalam pemberitaan. Tidak jarang fakta flu burung mendapat tempat khusus di halaman depan surat kabar dan berita utama di media elektronik.Tidak mengherankan, dalam tempo sesaat, flu burung telah menjadi momok yang menakutkan di tengah masyarakat. Tidak ketinggalan, virus ini telah menggugah nurani para insan media untuk disajikan sebagai berita utama.Tujuannya, salah satunya adalah proteksi dini dan memacu kewaspadaan masyarakat akan bahaya virus mematikan ini. Selain itu, penyebaran informasi mendalam tentang virus ini juga menjadi vital untuk diketahui.Persoalannya adalah, apakah pekerja media telah menjalankan fungsi peliputan secara komprehensif? "Jangan sampai para pekerja media malah membangun kepanikan massa terhadap sebuah isu lantaran pemahaman terhadap isu itu tidak akurat," timpal Kepala Biro Harian Kompas, Nasrullah Nara pada Workshop Jurnalis Peliputan Flu Burung.Reaksi protes tersebut, menurut Nasrullah, muncul akibat ulah jurnalis yang tidak tuntas menyajikan seluruh aspek pada kasus flu burung. Bahkan terkesan, lanjut Nasrullah, pemberitaan di medai massa menjadikan masyarakat kian panik.Kendati Nasrullah tidak menampik jika kasus flu burung selalu menjadi headline di media massa. Namun, bukan berarti penyampaian kasus ini monoton pada peristiwanya yang tragis."Fokus pemberitaan juga bisa untuk membangun kesadaran akan bahaya flu burung, sehingga ada upaya penanganan," jelas mantan wartawan desk humaniora ini.Sementara itu, aspek lainnya yang tak kalah pentingnya adalah etika jurnalis melakukan peliputan terhadap korban flu burung. Tidak serta merta, pola teknis peliputan digunakan untuk semua aspek liputan."Seorang jurnalis yang berempati tentu akan memahami keadaan dirinya, orang lain dan areal liputan,'' papar Dosen Komunikasi Universitas Hasanuddin, Mansyur Semma.Mansyur menguraikan, hal penting yang harus diketahui seorang jurnalis adalah kondisi psikologi bagi keluarga dan penderita flu burung. Pasalnya, aspek tersebut menentukan adanya informasi yang nantinya dapat disajikan kepada pembaca."Selayaknya seorang jurnalis lebih berempati dan memperlihatkan simpati terhadap korban flu burung," imbuh Mansyur.Dalam hal penulisan pun harus diperhatikan jurnalis. Pemilihan diksi dan rasa bahasa menjadi patokan utama dalam menyajikan informasi kasus flu burung. Terlebih lagi jurnalis diimbau untuk tidak terburu-buru mendeskripsikan fakta-fakta yang bersifat vonis terhadap pasien."Jurnalis juga diimbau untuk tidak menuliskan secara full nama dan identitas korban untuk menghindari penerimaan masyarakat yang bersifat negatif," saran Mansyur.Pada akhirnya, jurnalis, flu burung, dan masyarakat adalah satu rangkaian mata rantai yang tak terpisahkan. Bahawa, pemberitaan penyebaran virus flu burung menjadi salah satu shock terapi khusus bagi masyarakat dan pemerintah agar tidak menanti jatuhnya korban baru. [*][makassar, 15 November 2007]
Tiga Tewas, Dua Luka, Satu Rumah Dibakar
Insiden bentrokan memperebutkan lahan kembali terjadi. Kali ini, bentrokan melibatkan dua dua kubu dari warga Desa Tanakaraeng Kecamatan Manuju Kabupaten Gowa dan Warga Desa Towata Kecamatan Polongbangkng Utara (Polut) Kabupaten Takalar, Minggu 23 Nopember. ****
Akibat insiden tersebut, tiga orang tewas seketika di lokasi kejadian. Ketiga korban tewas adalah Kepala Dusun Je'ne Tallasa, Desa Towata, Polut bernama Haeruddin Dg Nompo, 40. Dua korban tewas lainnya adalah warga Kabupaten Gowa masing-masing Dusun Belampang, Desa Tanakaraeng, Kecamatan Manuju, Syahruddin Dg Lawa, 48 dan warga Dusun Te'bakang Kecamatan Bajeng, Gowa bernama Dg Rahim, 70. Kedua korban ini masih terikat jalinan darah.
Haeruddin menderita luka tebasan parang di bagian perut. Akibatnya, usus ayah dua anak ini terburai. Di beberapa bagian tubunya seperti tangan dan dada juga terkena tebasan parang. Sementara itu, Syahruddin menderita luka yang juga mengenaskan. Dada kiri-kanan dan leher terusuk benda tajam. Begitu pula dengan Dg Rahim. Lelaki paruh baya ini terkena sabetan parang di telinga, perut, dan tangannya.
Ketiga korban menghembuskan nafas sesaat setelah insiden itu di lokasi kejadian. Diduga korban tewas lantaran luka serius dan pendarahan hebat yang dialaminya. Masing-masing korban baru dievakuasi setelah puluhan warga dari kedua desa di kabupaten berbeda itu tiba di lokasi kejadian.
Selain mengakibatkan korban tewas, inseden maut ini juga mengakibatkan jatuhnya korban luka. Tercatat dua orang warga menderita luka serius akibat tebasan parang. Kedua korban luka itu masing-masing adik Syahruddin, Baharuddin Dg Nyompa, 30. Baharuddin dilaporkan menderita luka tebasan parang di bagian lengannya.
Sedangkan, satu korban luka lainnya berasal dari pihak Haeruddin. Korban luka tersebut bernama Hamzah Dg Siga, 42 yang masih saudara dengan Haeruddin. Kedua korban luka turut membantu keluarganya saat insiden maut itu terjadi.
Imbas insiden tersebut, salah satu rumah milik di Dusun Tanakaraeng ludes dibakar massa di dusun setempat. Pemilik rumah bernama Dg Pasang diketahui adalah ponakan Haeruddin yang turut membantu pamannya dalam insiden itu. Hingga sore kemarin, aparat kepolisian Polresta Gowa telah mengamankan Dg Pasang dan mengenakan status tersangka.
Sengketa Lahan
Ketenangan dua warga desa itu tiba-tiba terusik dengan bentrokan tersebut. Bentrokan ini diduga dipicu oleh sengketa tanah yang melibatkan kedua belah pihak. Lokasi lahan yang menjadi sengketa tersebut tepat berada di perbatasan dua kabupaten itu.
Bentrokan maut terjadi sekira pukul 09.00 Wita. Informasi yang dihimpun Fajar di lokasi kejadian menyebutkan adanya dua versi kejadian itu. Versi pertama menyebutkan, saat itu, Haeruddin mengajak istrinya, Dg Bollo, 28 dan adiknya Hamzah Dg Sila serta beberapa keluarganya ke lahan sengketa yang diklaim miliknya tersebut. Rencananya, keluarga Haeruddin bakal menanam jagung di lokasi itu. Jarak antara lahan dengan dengan rumah korban hanya sekita 200 meter di daerah dataran tinggi.
Saat sedang menanam jagung itulah, sekelompok warga dari Dusun Belampang, Manuju, yang dipimpin Syahruddin juga tiba di lokasi kejadian. Diduga, kubu ini berencana menghalangi rencana penanaman jagung tersebut.
Kapolsek Manuju, AKP AKP Tandi Ruru mengatakan, sehari sebelumnya, Haeruddin meminta izin menanam jagung di lokasi yang bersengketa itu. Ia pun juga melapokan niat itu kepada Kepala Desa Towata, Dg Naba.
"Sehari sebelumnya Haeruddin memang melapor akan menanam jagung tapi kami menganjurkan agar jangan dulu digarap karena tanah tersebut masih bersengketa," ujar Tandi Ruru.
Diduga, rencana penanaman jagung itu diketahui Syahruddin. Akibatnya, Syahruddin turut mengajak beberapa keluarganya menuju lokasi itu.
Entah siapa yang memulai, saat tiba di lokasi tersebut bentrokan kedua kubu tidak dapat dihindari. Akibatnya, tiga orang tewas dan dua lainnya menderita luka tebasan parang.
Versi kedua menyebutkan, jika pihak Syahruddin juga berencana menggarap lahan yang juga diklaim sebagai tanah garapannya. Mengetahui kedatangan Syahruddin, kubu Haeruddin yang sedang menanam jagung langsung melakukan pengadangan. Insiden tebas parangpun tidak dapat dielakkan.
Mengetahui kematian Syahruddin, beberapa pihak keluarganya langsung menuju lokasi kejadian. Amarah warga tidak tertahan setelah mengetahui jika salah satu keluarga Haeruddin yakni Dg Pasang turut terlibat dalam insiden itu.
Akibatnya, rumah Dg Pasang yang terletak di Desa Tanakaraeng turut menjadi pelampiasan amarah warga. Warga lantas membakar rumah panggung yang terletak di pinggir jalan menuju lokasi sengketa lahan.
Istri Dg Pasang, Dg Kebo, 41 mengaku kaget atas tindakan pembakaran itu. Menurutnya, saat kejadian rumah tersebut sedang kosong lantaran, ia berada di Desa Towata.
"Tak ada yang bisa kami selamatkan dari rumah tersebut," ujar Dg Kebo, kemarin.
Perketat Keamanan
Atas bentrokan tersebut, aparat Polres Takalar dan Polres Gowa langsung turun ke lokasi kejadian yang terletak di perbatasan dua kabupaten tersebut. Tindakan ini menyusul adanya aksi balasan dari kedua belah kubu.
Kapolres Takalar, AKBP Chevy Ahmad Sopari dan Kapolres Gowa AKBP Raden Purwadi langsung meninjau lokasi kejadian. Kedua petinggi polres tersebut mengaku akan bekerjasama dalam mengusut kasus tersebut.
Raden Purwadi mengatakan, pihaknya telah mengamankan dan menetapkan Dg Pasang sebagai tersangka. Dg Pasang diduga ikut terlibat dalam bentrokan itu.
"Ia telah kami amankan. Untuk sementara kami juga akan mencari beberapa saksi yang menyaksikan langsung insiden tersebut," ujar Purwadi.
Menurutnya, pihaknya belum memeriksa saksi-saksi atas insiden dan pembakaran rumah tersebut. Pasalnya, pihaknya menunggu situasi keamanan kembali kondusif untuk melakukan pemeriksaan.
Hal yang sama diungkapkan Chevy. Menurutnya, pihaknya juga sedang melacak orang-orang yang ikut menanam jagung sesaat sebelum kejadian. Hanya saja, lantaran keluarga korban belum bisa dimintai keterangannya lantaran masih dalam suasana berduka.
Untuk mengantisipasi adanyan bentrokan susulan, kedua Polres sepakat menempatkan personel penamanan. Sedikitnya 20 personel dari Polres Takalar dan 20 personel Polres Gowa yang ditempatkan di lokasi itu.
"Kami meminta agar kedua belah pihak dapat menahan diri. Biarkanlah kasus ini ditangani oleh aparat kepolisian," imbau Purwadi dan Chevy.
Sengketa lahan tersebut sebenarnya sudah lama terjadi. Bahkan, saat ini kasusnya telah ditangani Polres Gowa. Hanya saja belakangan ini lahan tersebut digarap oleh Haeruddin yang sebelumnya dikuasai oleh Syahruddin.
"Untuk membicarakan kasus itu, besok (hari ini. red) kami berencana melakukan pertemuan dengan muspida dan pejabat terkait dari dua kabupaten," tandas Purwadi.
Menurut Purwadi, Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo telah mengetahui insiden tersebut. Pemerintah setempat berencana menggelar pertemuan untuk menindaklanjuti penyelesaian kasus sengketa tanah tersebut. (*)
[makassar, 24 Nov 2008]
INTERVIEW ANDREA HIRATA
Curat marut dunia pendidikan di Indonesia menggerakkan nalurinya untuk bertindak. Rasa kepedulian yang tinggi telah membawa Andrea Hirata menciptakan suatu konsep baru dalam hal pendidikan. Tidak salah jika Laskar pelangi menjadi booming dalam sekejap lantaran banyaknya bengkalai pada dunia pendidikan. Seperti apa metode yang diciptakan lajang kelahiran pulau Belitong, propinsi Bangka Belitung ini? Bagaimana proses konsep tersebut dijalankan? Lalu Sejauh mana keberhasilan konsep yang akan ditawarkannya? Kepada wartawan Harian Fajar, Abdul Rahman, pengarang karya monumental tetralogi Laskar Pelangi ini menuturkannya di SMA Athirah Bukit Baruga Antang, Selasa 22 April 2008.
Di dalam karya monumental anda, ide yang banyak diperbincangkan orang adalah sorotan terhadap dunia pendidikan. Sebenarnya, bagaimana perspektif anda tentang kondisi pendidikan di Indonesia?
Sebelumnya, saya ingin berterimakasih atas sambutan hangat warga Makassar kepada saya hari ini (kemarin. red). Saya sudah menduga jika kedatangan saya untuk sharing dan berdiskusi akan mendapat apresiasi positif dari warga di daerah ini. Menjawab pertanyaan anda, saya kira yang menjadi hal terpenting adalah integritas. Saya kira inilah yang paling urgen, pengajar dan murid atau siswa harus mempunyai integritas.
Maksud Anda?
Jadi, sebenarnya saya tidak keberatan apabila pendidikan itu menjadi komersial. Ini hal yang berbeda karena jika komersialisasi itu untuk kebaikan pendidikan, itu tidak apa-apa. Apalagi banyak orang yang bisa membayar untuk mendapatkan fasilitas yang baik dalam menuntut pendidikan. Nah, biasanya jika sekolah dengan pembayaran yang mahal maka fasilitas juga bagus. Sekolah itu tidak harus marginal. Mentalitas itu tidak bisa dibentuk dengan badan yang marginal dan kehidupan yang susah.
Bisa Anda berikan Contohnya?
Biasanya ada anggapan bahwa orang bisa sukses karena hidupnya penuh dengan perjuangan dan kesusahan. Saya kira itu pendapat yang keliru. Jika anda kaya silahkan hidup jadi orang kaya. Yakinlah bahwa anda juga bisa sukses. Silahkan tuntut pendidikan sesuai dengan kemampuan tersebut. Pendapat itu saya kira malah membunuh peluang bagi anak-anak kaya untuk bisa sukses. Banyak orang miskin yang sukses. Banyak orang kaya yang sukses. Orang miskin yang gagal malah lebih banyak, meski telah berjuang berjibaku mati-matian, begitu pula dengan orang kaya. Jadi menurut saya tidak ada hubungan antara kekayaan dan kemiskinan. Yang berhubungan adalah integritas, eksis, dan metalitas orang. Itulah esensi pendidikan yang sesungguhnya.
Nah, bagaimana pendapat anda tentang jargon-jargon pendidikan gratis?
Hati-hati dengan pendapat tersebut karena sudah pernah dicoba di sebuah sekolah. Dulu ketika biaya sekolah ada prestasi yang ada pada siswa sangat bagus. Namun, setelah kebijakan berubah menjadi pendidikan gratis prestasi malah anjlok. Alasannya, lantaran semua fasilitas pendidikan diberikan secara gratis sehingga mereka seenaknya saja. Mereka merasa tidak berkorban. Ingat masalah pendidikan tidak sederhana. Ini adalah masalah yang kompleks.
Jika melirik persoalan ini lebih jauh, sebenarnya apa yang menjadi konsep utama Anda dalam karya Laskar Pelangi untuk diwujudkan sebagai bentuk perhatian kepada dunia pendidikan?
Nah, saya punya model pendidikan yang disebut Laskar Pelangi in Actions. Ini adalah model pendidikan inisiatif. Jadi, orang-orang dalam komunitas sosial masing-masing berinisiatif saja. Membuat cluster-cluster tanpa harus menunggu pemerintah. Saya kira banyak orang cerdas di negeri ini apalagi ia tamatan luar negeri. Mereka punya waktu hari Sabtu-Minggu yang bisa dimanfaatkan untuk membuka sekolah gratis. Dan itu sudah saya mulai dari sekarang dengan memberikan pelajar matematika, fisika, kimia, bahasa asing, dan beberapa mata pelajaran lainnya.
Bagaimana sambutan masyarakat tentang ide tersebut?
Sudah dua kali kami melakukan hal tersebut. Alhamdulillah reaksi dan tanggapan masyarakat secara luas sangat apresiatif. Karena dari awal saya percaya bahwa pelajaran itu dibentuk dilihat dari segi pola pendekatannya. Misalkan, ada seorang anak yang sangat pintar di suatu sekolah. Namun, karena ada guru yang tidak cocok dengan gurunya, membuat anak tersebut tidak dapat mengembangkan diri. Kelas yang saya buka ini memberikan guru-guru baru, pendekatan baru dan metode pelajaran yang baru, sehingga ada nuansa yang berbeda dirasakan oleh siswa ketimbang belajar di sekolahnya.
Bisa diurai secara singkat konsep Laskar Pelangi in Actions itu?
Jadi ini sudah dua kali kami lakukan. Yang pertama lakukan dalam bentuk triout yang kami biayai sendiri. Konsep ini bukan tindakan instan dan spontan. Tapi merupakan tindakan yang memutuhkan proses. Kami menggunakan 30 orang anak yang kami uji secara ketat dengan penilaian yang ketat pula. Nah, dari jumlah tersebut hanya satu orang yang bisa lulus. Usai itu, kita panggilkan psikolog yang melakukan pengujian untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan mereka. Setelah semua lengkap, mereka lalu dibuatkan kelas. Kelas tersebut disiapkan untuk pendidikan mereka selama sepekan. Di luar jam sekolah mereka kisa sisihkan beberapa jam setiap hari secara intensif untuk mata pelajaran tertentu. Gurunya, bisa anda bayangkan kami datangkan dari universitas terkenal seperti ITB dan UI dan kami tanggung semua kebutuhannya selama mengajar. Model ini kami terapkan tanpa memungut pembayaran. Rencananya, menjelang ujian masuk perguruan tinggi nanti metode tersebut akan kami lakukan lagi.
Model pembelajarannya?
Yang pasti tetap menggunakan metode klasikal. Ada murid ada guru. Hanya bedanya adalah dalam satu kelas kami lengkapi dengan alat-alat teknologi canggih dengan akses internet yang full dan alat-alat peraga yang lebih santai dan interaktif. Dalam satu pekan untuk satu mata pelajaran saya perkirakan menghabiskan waktu 50 jam.
Ini menarik, Anda menguji 30 anak yang hanya lulus satu orang. Dari hasil tes psikologi, apa kecenderungan yang anda temukan pada dini anak tersebut?
Kasus yang kami dapatkan terjawab setelah uji psikologi. Hasilnya adalah ternyata anak-akan itu bukannya tidak pintar. Intelektualitasnya lumayan, namun mereka ternyata mempunyai problem dalam kepercayaan diri. Potensinya bagus tapi memang tidak percaya diri.
Apa target Anda dari metode ini?
Jauh sebelum konsep ini dibuat, kami telah menimbang-nimbang hasil yang kami akan capai. Paling tidak dari 30 orang tadi ada lima orang yang memiliki kapasitas intelektualitas yang memadai, jadi kami tidak muluk-muluk. Selain itu, karena kami juga memasukkan materi motivasi sehingga kami harapkan lulusan dari metode ini dapat mengasah kepercayaan dirinya untuk bisa berkembang menuju kesuksesan.
Pertanyaan terkahir, Laskar Pelangi rencananya akan difilmkan. Secara resmi kapan film itu dilaunchingkan?
Resminya tanggal 25 Mei bersamaan dengan peluncuran buku keempat Maryamah Karov. Film itu disutradarai oleh orang Sulsel asli Enrekang yaitu Riri Reza dengan produser Mira Lesmana. Saya lihat ada definisi baru dalam film itu karena ada warna yang ditawarkan oleh sutradanya. Sangat jelas ada perbedaan dengan memunculkan pengembangan-pengembangan dan angle-angle baru dari pada buku yang saya tulis. Akan tetapi secara esensi tidak bergeser dari esensi yangsesungguhnya. Saya optimis film ini akan menjadi film yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. (parsiabdi@yahoo.co.id)
Tunggulah Pengadilan Tuhan"Kami bukanlah sampah. Kami manusia yang butuh makan untuk hidup. Dan, kami adalah bagian dari kalian".
****
Kalimat itu tiba-tiba meluncur dari bibir Suriati, 33, yang gemetaran. Tiap kata dilontarkan terbata. Kedua bola matanya sembab menatap puing-puing tempat jualannya yang telah dibongkar. Jelas sekali ada sesak yang bergulung-gulung, meronta dalam dadanya. Ibu tiga anak ini baru saja "menikmati" tontonan penertiban PKL (Pedagang Kali Lima) oleh petugas Pol PP Kota Makassar. Istri dari Ruslan, 35, tersebut tak pernah menyangka sebelumnya, jika penertiban tersebut juga bakal menimpa kiosnya di Jl AP Pettarani. Betapa tidak, tiga pekan lalu dirinya didatangi petugas Pol PP dan menyatakan jika kiosnya tersebut tidak akan digusur."Kita semua langsung kaget saat mereka muncul dan langsung menertibkan kami,'' ujar Suriati yang mengaku tak punya pekerjaan lain selain jualan itu. Awalnya, kisah Suriati, semua pedagang kaki lima yang ada di seputaran Jl AP Pettarani telah mendapatkan peringatan untuk tidak berjualan di atas got. Selain itu, mereka juga dilarang berjualan di pinggir dekat jalanan. Peringatan itu jauh-jauh hari, diakui mereka, telah diterima. "Bukannya kami mau pindah, tapi kami akan pindah jika sudah mendapatkan tempat yang strategis untuk berjualan,'' ulas wanita yang memilih pekerjaan PKL sejak 1998 lalu. Dari waktu ke waktu, tempat yang dimaksud tak kunjung didapatkan. Malah, lokasi itu kian padat dihuni oleh pendatang baru. "Dulu pemerintah memberikan toleransi berjualan tapi tidak mengambil derah milik jalan,'' ungkapnya. Kendala lainnya, menurut warga Jl Sukaria 13 tersebut, pemerintah terkesan tebang pilih dalam menertibkan PKL, membuat sebagian dari mereka enggan untuk pindah lantaran tidak ditertibkan secara keseluruhan. "Kami mau pindah jika semuanya dipindahkan. Jangan cuma satu-satu,'' protes Suriati. Suriati tidak sendiri. Sainal, 33, juga bernasib serupa. Dari alasan sampai perlakuan, semuanya serupa. Bedanya, saat penertiban, Sainal berupaya keras mempertahankan kiosnya agar tidak ditertibkan. Ironisnya, ulah tersebut malah dianggap melawan kehendak petugas. Tanpa tawaran sebelumnya, ayah sembilan anak tersebut langsung diamankan petugas. "Kami yakin, Tuhan akan membalas semua perbuatan mereka. Tunggulan azab Tuhan di akhirat nanti,'' ucap Sainal sambil menengadahkan tangannya ke langit. Sainal merasa jika dirinya dalam posisi teraniaya. Hingga ia yakin jika orang yang teraniaya selalu bersama Tuhan. "Tidak ada kekuatan yang mampu menandingi kekuatan Allah,'' ujar Sainal lagi. Semenjak Sainal melakoni pekerjaan sebagai pedagang kali lima, dirinya sudah kerap berpindah-pindah. Bahkan, pahit-manisnya digusur telah menjadi warna dalam kehidupannya. Kini, di atas sejengkal tanah itu, mereka terus meratapi nasib. Siang dan malam "nyanyian" penggusuran terus terngiang di dua telinganya. Mereka tidak tahu sampai kapan rasa was-was itu berhenti memburu. (*) [makassar, 28 July 2007]
Dua Hari Terapung Tanpa Makan KAPAL nelayan yang tenggelam di selat Makassar menyisahkan banyak cerita. Mulai dari mereka dibius hingga terapung-apung bersama rakit tanpa makan dan minum selama dua hari tiga malam di atas laut. ****RAUT wajahnya terlihat lelah. Tubuhnya yang kekar masih cukup lemas. Kulit mukanya merah kehitam-hitaman habis dibakar matahari. Tangan dan kakinya, terlihat terkelupas.Begitulah kondisi Syamsuddin, 31 tahun, satu dari enam penumpang yang kapal tenggalam yang berhasil diselamatkan KM Ciremai, milik PT Pelni yang dirawat di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Makassar, Jumat 13 Juli di Pulau Dewakang Bau, tepat di posisi 05-22-059 LS/118-14,791-BT. Kondisi serupa juga dialami lima orang korban kapal tenggelam lainnya. Mereka masing-masing, Dg Rurung, 40, Dg Lallo (ABK), 70, Mansyur, 46, Henny, 13, dan Dg Bella, 33. Di klinik Pelabuhan Soekarno Hatta itu, mereka dibaringkan sambil diberikan susu dan bubur. Syamsuddin terlihat lahap memakan makanan yang diberikan pihak klinik. Maklum, lebih dua hari mereka bertahan tanpa makan dan minum di tengah selat Makassar. "Kita tenggelam sekitar pukul 10.30 Rabu malam (22.30 Wita, Red), sejak saat itu kita terapung dan tidak makan apa-apa," kenang Syamsuddin, lelaki rambut panjang ini kepada Fajar.Seperti diberitakan, Syamsuddin bersama 30-an penumpang lainnya tenggelam saat menumpangi sebuah kapal nelayan yang berangkat dari Pulau Kalukuang, Kabupaten Pangkep sejak Rabu 10 Juli pukul 08.00 Wita pagi. Mereka baru dievakuasi KM Ciremai sekitar pukul 10.30 Wita, Jumat 13 Juli. Bagaimana cara ayah dua anak yang tinggal di Moncobalang, Gowa ini bersama penumpang lain berusaha bertahan hidup? Syamsuddin menceritakan, Rabu malam sekitar pukul 22.15 Wita gelombang dengan ketinggian sekitar enam meter, menghantam kapal pencari ikan yang ditumpangi.
Mungkin, kapasitas penumpang yang berlebihan, kapal tersebut tidak mampu bertahan dan terbalik. Semua penumpang dalam kondisi panik, ikut bersama kapal tersebut masuk ke dalam air. "Saat itu ada penumpang yang mencari jeriken ada juga yang mencari papan untuk terapung," tambah Syamsuddin. Lelaki kelahiran 1976 ini mengaku, saat itu dia tidak memikirkan untuk menyelamatkan barang bawaannya. Matanya langsung tertuju pada sebuah rakit bambu yang berukuran sekitar 2 meter persegi. Tanpa menunggu lama, dia pun meraih rakit tersebut. Di tengah terjangan ombak yang tidak berhenti, dia melihat dua orang wanita dewasa dan seorang anak-anak. "Saya berusaha untuk tolong mereka yang berenang. Tapi saat itu, saya hanya berhasil menolong yang anak-anak. Yang perempuan duanya saya tidak tahu, mungkin sudah meninggal," tambahnya. Sekadar diketahui, perempuan remaja berumur 13 tahun yang ditolong Syamsuddin diketahui bernama Henny. Dia juga salah satu penumpang kapal nahas yang berhasil diselamatkan KM Ciremai. Kondisinya cukup parah, sehingga dirawat khusus di RS Bhayangkara.Syamsuddin mengaku, setelah berhasil menolong Henny, dia pun kembali ke rakit bersama empat penumpang kapal lainnya. Saat itu, mereka mulai terapung-apung tanpa tujuan. "Waktu rakit menjauh dari lokasi kapal tenggelam, masih ada penumpang yang melambai tangan, tapi jauh," kenangnya. Di atas rakit, mereka terapung tanpa makanan dan minuman apapun. Bahkan, beberapa penumpang yang bertahan di atas rakit, tidak menggunakan baju, sehingga kulitnya dibakar matahari. "Ini kuasanya Allah. Kita bisa selamat tanpa makan dan minum pak," tambah Mansyur, salah satu penumpang kapal nahas selamat yang ditemui Fajar di Kantor Kesehatan Pelabuhan. Kondisi Mansyur juga cukup lemas. Kata-kata yang disampaikan masih terbata-bata.Syamsuddin dan Mansyur menceritakan, hingga siang hari, ketika terapung hingga Kamis siang, kondisi mereka sudah sangat lemas dan tertidur di atas rakit bambu, karena lapar dan haus. "Ada ABK (Anak Buah Kapal) yang suntik ki pakai obat di atas rakit. Anak perempuan itu sekitar empat kali disuntik, karena lemas sekali. Saya cuma satu kali," ungkap Mansyur. Di atas rakit tersebut, kata Syamsuddin, yang dia ingat hanya kedua anaknya yang sudah ditinggalkan selama sebulan terakhir ini. Untungnya, diantara kecemasan mereka, kata Syamsuddin, tiba-tiba KM Ciremai melintas dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari rakit mereka. Syamsuddin yang menggunakan baju, langsung menggunakan untuk melambai ke arah meminta pertolongan. Beruntung. Lambaian baju itu dilihat KM Ciremai, dan memperlambat laju kapal. "Waktu kapal berhenti, kami langsung bersyukur," tambah Syamsuddin yang berprofesi sebagai nelayan ini. Di KM Ciremai, mereka kemudian diberi pertolongan dan diberikan baju untuk digunakan.Sekadar diketahui, dari 30-an penumpang yang terdapat, hanya enam yang berhasil diselamatkan. Sementara 24 penumpang plus ABK kapal belum jelas nasibnya. (*)[makassar, 15 July 2007]
Laksamana Cheng Ho Jadi Daya Tarik Menuju RI 1
Genderang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 belum juga ditabuh. Namun, sejumlah tokoh politik nasional telah melakukan berbagai manuver. Mulai dari sosialisasi figur kandidat hingga merancang sederet platform politik.
Semua itu untuk meraih simpatik seluruh konstituen di republik ini. Salah satu tokoh yang disebut-sebut bakal memanfaatkan momen menduduki kursi RI 1 adalah Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra.
Seperti apa pandang mantan Menkum HAM tersebut terhadap bangsa ini? Bagaimana intrik politik dari mantan Ketua Umum DPP PBB tersebut? Lalu, bagaimana Yusril mengurai setiap persoalan yang sekian lama mendera bangsa ini? Secara gambling, kepada Jurnalis Harian Fajar, ABDUL RAHMAN, Yusril membeberkan ide-idenya saat berkunjung di redaksi Fajar, Jumat 23 Mei.
Selamat malam! Kesan Anda setelah hadir di Makassar?Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih atas kesediaan Harian Fajar menerima dengan baik kunjungan saya malam ini. Yang pasti bahwa saya tidak tahu masalah apa yang bagus untuk saya bicarakan. Jadi bergantung apa yang akanditanyakan dan saya akan menjawabnya.Anda disebut-sebut bakal mencalonkan diri pada Pilpres 2009 mendatang. Apa yang Anda lakukan untuk mempersiapkan amunisi pada momen itu?Rupa-rupanya saya harus menyampaikan visi-misi. Sekarang ini belum saatnya kampanye seperti tokoh politik lain. Akibatnya, ada salah satu tokoh politik nasional yang telah kena "semprit" dari SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, red). Saya melihat bahwa sekarang sudah saatnya kita berpikir secara lebih sistematik, cerdas, dan tepat terkait masalah-masalah mendasar yang dialami negara kita ini. Lebih 60 tahun kita merdeka, dan banyak kemajuan-kemajuan yang kita lakukan di berbagai bidang, seperti bidang sosial, politik, ekonomi yang kita capai.Tapi, banyak juga hal-hal yang kita rasakan kurang dan masih merupakan satu tantangan-tantangan berat di masa sekarang dan masa yang akan datang dan kita melihat suatu pemecahan yang sistematik tentang hal itu. Jadi, dari segi konsep kita bernegara, saya melihat bahwa apa yang sudah kita lakukan mulai dari era reformasi telah melakukan amandemen terhadap konstitusi yang sebenarnya hal itu sudah berada pada sisi yang benar.Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu kita pertajam dan kita perjelas karena kesimpangsiuran terhadap masalah ini akan mempunyai dampak ke berbagai sektor. Seperti, bidang politik, ekonomi dan sosial.Seperti apa perubahan- perubahan mendasar yang telah dilakukan terhadap bangsa ini?Saya melihat bahwa itikad untuk melakukan perubahan pada arah yang baik terus digalakkan. Contohnya, telah dibentuknya lembaga-lembaga baru untuk menciptakan masyarakat yang lebih demokratis, lebih transparan. Tetapi, di samping itu juga kita menemukan banyak kejanggalan-kejanggalan dalam pelaksanaannya. Dan, pertanyaan yang mendasar adalah apakah kita ingin betul-betul mau menciptakan apa yang dikawal reformasi, atau kita ingin memperkuat salah satu institusi kenegaraan itu sendiri.Seperti apa yang Anda maksudkan?Contohnya saja institusi DPR. Sepertinya, DPR kita itu lebih kuat dari lembaga yang lain. Padahal yang kita inginkan adalah keseimbangan dan saling mengontrol antarlembaga-lembaga negara itu. Ini mesti didudukan secara bersama bahwa sistem kita tetap sistem presidential, walaupun mengandung elemen-elemen parlementer di dalamnya. Tetapi saya tekankan bahwa kita tidak mengarah ke sistem parlementer itu. Hal yang tidak menjadi konsen kita bersama adalah mengenai otonomi daerah ini.Selalu muncul pertanyaan bahwa akan ke mana perjalanan bangsa dan negara kita kedepan?Kita tidak bisa bergerak ke pendulum satu ke pendulum lain secara institusi. Dulu sangat sentralistis, sekarang kita mau desentralisasi. Semuanya itu diserahkan kepada daerah. Akibatnya, akan menghambat laju gerak pembangunan sosial dan ekonomi kita sendiri.Apa yang Anda inginkan sebenarnya?Menurut saya, sebenarnya sudah saatnya kita mengkaji ulang masalah ini dengan jiwadan semangat yang lebih besar. Betulkah bahwa kewenangan dari pemerintah pusat itu hanya penanganan dalam negeri berupa pertahanan, keamanan, hokum,dan agama.Sementara banyak masalah-masalah yang sebenarnya membutuhkan suatu penanganan secara integratif, tidak menimbulkan suatu krusial di daerah,tapi juga memperlancar proses pengambilan keputusan dalam rangka mendukung investasi kegiatan-kegiatan lini di daerah.Dan, saya lihat masalah ini juga harus kita lakukan pembenahan-pembenahan yang lebih sistematik, sehingga masing-masing daerah tidak jalan sendiri. Selain itu, tidak bisa suatu aturan di daerah yang dijalankan lantas kemudian diblok oleh satu daerah lain.Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan listrik di pulau Jawa kita bangun pembangkit listrik di Palembang. Kabupatennya setuju, tapi ketika mau bangun transmisi melewati kabupaten malah tidak setuju. Memang ini akan menyulitkan laju kita ke depan.Karena itu, saya melihat bahwa sudah saatnya kita mengkaji ulang masalah ini tanpa mengurangi lebih banyak, tapi memberikan juga kewenangan-kewenangan kepada pemerintah pusat dan provinsi untuk mengintegrasikan kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi di daerah-daerah, sehingga tidak mengalami hambatan yang banyak sekali.Apa dampak yang ditimbulkan dengan adanya hal itu?Sekarang ini kita lihat investor yang sulit sekali bernegosiasi dengan begitu banyak bupati, walikota dengan kemauan serta keinginan yang berbeda. Saya sampai sekarang berpendirian bahwa sebaiknya titik berat ekonomi itu diberikan bukankepada kabupaten, tapi provinsi.Untuk pemilihan kepala daerah itupun sebenarnya hanya fokus kepada gubernur yang bisa dipilih langsung oleh rakyat. Tidak dengan sekarang ini sampai bupati, walikota, dan dengan dampak yang cukup luas, terutama banyak sekali pemilu dan menimbulkan dampak di bidang sosial dan politik.Pilkada ini ditambah pemilu presiden, pemilu DPR, dan DPD. Banyak sekali pemilu dan semuanya itu menimbulkan cost politik yang tinggi. Saya melihat bahwa politisi kita itu bisa banyak kategorinya. Ada yang betul-betul berjuang habis untuk kepentingan orang banyak sehingga sempat banyak berpikir tentang diri sendiri.Ada juga yang lebih banyak berpikir tentang diri sendiri dan tidak sempat berpikir untuk orang banyak. Ada juga yang pikir orang banyak, tapi berpikir untuk diri sendiri juga. Tapi cost politik yang tinggi ini sebenarnya sedikit banyaknya juga membuat yang dampak kurang sehat bagi upaya awal reformasi untuk memberantas habis praktik KKN.Tapi dengan politik yang memerlukan biaya tinggi ini sedikit demi sedikit juga seperti agak kontradiksi. Seperti kita tahu bahwa biaya pemilihan persiden (pemilihan umum) itu sampai Rp12 triliun, itu biaya yang sangat besar sekali. Itu yang dikeluarkan oleh Negara, belum lagi yang dikeluarkan oleh yang bersangkutan (para calon. red) untuk kampanye-kampanye sendiri. Sementara masih banyak kebutuhan-kebutuhan lain yang semestinya harus dipenuhi oleh negara untuk lebih meningkatkan kesejahteraan rakyat ini.Menurut Anda apa yang menjadi persoalan vital yang dihadapi oleh bangsa ini akibat otonomi daerah?Sekarang ini saya melihat bahwa tidak banyak kekhawatiran tentang disintegrasi bangsa seperti awal-awal reformasi dulu. Pemikirannya pada masa itu kalau diberikan kepada provinsi, maka provinsi itu lebih gampang lepas daripada lepasnya kabupaten. Jadi mungkin ada benarnya, tapi dengan lebih banyak kabupaten/kota yang baru dibentuk sekarang ini lebih menyulitkan juga pemerintah pusat dalam melakukan koordinasi membangun daerah-daerah itu. Lebih mudah bagi presiden itu mengawasi 40 gubernur dari pada mengawasi hampir 500 bupati/walikota seperti sekarang ini. Apalagi hubungan itu biar sebetulnya relatif tapi ada kewenangan spesifik yang diberikan yang sekarang ini sepertinya mencoba jalan sendiri.Jadi mestinya otonomi daerah ini seperti apa?Kalau saya sebenarnya, penguatan otonomi ada pada provinsi saja. Tapi barang yangsudah diberikan itu jangan diambil semua. Mendagri sudah melakukan telaah secarakomprehensif, mana yang gagal berhasil, dan jalan di tempat. Awalnya, saya membayangkan idealnya Indonesia itu ada 43 provinsi, dan otonomi itu diberikan pada provinsi tersebut. Namun Ryaas Rasyid pada saat itu fokus pada kabupaten.Saya katakan pada saat itu bahwa lebih banyak orang sepakat memecah satu kabupaten menjadi dua ketimbang menggabungkan dua kabupaten menjadi satu. Akibatnya, banyak ekses yang timbul dari adanya pemekaran kabupaten tersebut. Jadi saya pikir dari pada kita banyak membangun infrastruktur pemerintahan dengan perluasan semacam ini, maka lebih baik undang-undang pemekaran wilayah itu harus dikaji ulang.Sekarang ini, lebih banyak pemekaran wilayah itu diusulkan oleh DPR dari pada usul pemerintah setempat. Ironisnya, pemerintah seakan-akan tidak berdaya dan tidak berani untuk menolak. Menurut saya, praktik otonomi daerah untuk pilkada, cukup gubernurnya saja yang melakukan pemilihan langsung, tapi pemilihan itu serempak. Jadi bupati/walikota dikembalikan pada metode yang lama, dipilih DPRD agar tidak menimbulkan bising politik dan menelan biaya yang tinggi. Itu saya kira lebih efektif. Namun, ini juga harus dilakukan oleh pemerintah pusat secara berani, meski mengorbankan ketidakpopuleran mereka.Seharusnya apa yang menjadi fokus bagi pemerintah saat ini?Soal yang menjadi pokus bagi kita sekarang sebenarnya tetap pada persoalan ekonomi. Tapi persoalan ekonomi terkait dengan persoalan non-ekonomi juga. Jadi, ekonomi bisa berkembang dengan tiga faktor ada; ada insvestasi, ada konsumsi, dan manajemen. Tapi investasi sulit sekali jalan karena situasi belum kondusif. Antara lain masalah otonomi ini juga menjadi satu masalah ganjalan bagi investasi.Di samping itu juga adalah proses kelambanan dalam memberikan satu servis pelayanan investasi ini karena banyaknya kepentingan yang bermain di balik semua itu. Sudah saatnya ada suatu penyehatan yang lebih tegas, lebih jelas membuat investasi kita lebih kompetitif. Oleh karena, investasi ini bisa datang dari luar bisa dari dalam. Tapi dari dalam juga bisa keluar. Banyak investor kita menanamkan modalnya ke Vietnam, Dubai, atau di Tiongkok daripada di dalam negeri.Kenapa demikian?Ya, karena memang ada persoalan-persoalan internal kita, di samping kelambanan, banyaknya lika-liku yang harus dilalui dan pajak yang sangat tinggi. Jadi pajak kita itu sangat tinggi bila dibandingkan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Sehingga pajak yang sangat tinggi tidak membuat orang kondusif untuk melakukan investasi.Seperti apa?Misalnya, perusahaan jasa. Pertama, kalau kita jadi eksekutif diperusahaan jasa itu dapat gaji sudah dapat PPh. Sudah itu dihitung lagi komulatif, kalau gajinya satu bulan Rp50 juta, berarti satu tahun gajinya Rp600 juta sudah dapat potongan 30 persen. Dihitung-hitung, jadinya 70 persen dan itu membuat orang agak enggan.Makin tinggi pajak, makin enggan orang melakukan ivestasi dan makin besar kecenderungan orang untuk melakukan manipulasi pajak. Kalau pajak itu lebih simpel, lebih sederhana, kemungkinan juga orang membayar pajak lebih banyak, lebih tinggi, dan kecenderungan orang akan melakukan investasi lebih besar. Sekarang orang menanam investasi di Dubai dikenakan pajak satu kali, besar kecil perusahaan tidak peduli. Soal lain adalah masalah konsumsi. Jika konsumsi meningkat maka secara otomatisincome kita juga akan naik.Selain masalah tersebut, menurut Anda yang paling mendesak untuk segera dilakukan?Masalah berat yang kita hadapi adalah masalah subsidi. Subsidi ini di mana masih dilakukan. Malaysia saja masih melakukan subsidi utama pada Bahan Bakar Minyak (BBM), bahkan beras pun dengan jenis tertentu juga disubsidi agar rakyat bisa beli.Kalau sekiranya ada penurunan harga minyak ini walaupun sekarang berat.Jadi siapapun yang jadi presiden memang tidak punya pilihan kecuali mengurangi subsisdi. Itupun dikurangi 28 persen. Dampak implasinya sekira 12 persen dan berapa persen orang miskin yang muncul tiba-tiba itu sudah bisa diprediksi. Tetapi memang pengalihan subsidi itu dalam bentuk apa. Sekarang ini dalam bentuk BLT.Tapi saya melihat ke depan subsidi lebih mengarah pada kelompok masyarakat lemah, utamanya petani dan nelayan. Hanya saja, subsidinya seperti apa. Kalau menurut saya jangan pupuk diberikan pada petani, tapi subsidi program. Hal itu akan mendorong orang untuk bekerja. Ambillah dua komoditi seperti beras dan kedelai. Caranya pemerintah mengaktifkan kembali KUD-KUD yang ada dan membeli hasil panen petani.Pada Pilpres 2009 mendatang beberapa calon telah melakukan sosialisasi awal. Tapi, Anda malah sibuk dengan proses pembuatan film Laksamana Cheng Ho. Apa ini sebuah manuver politik?Proses film itu sebenarnya sudah selesai. Rencananya, akan disiarkan oleh Metro TV atas keinginan Surya Paloh sendiri pada bulan Agustus hingga Maret 2009 mendatang. Kalau dikatakan ini adalah jalur kampanye, kan yang usulkan untuk disiarkan adalah pemilik televisi yang notabene adalah ketua dewan pimpinan Partai Golkar yang punya inisiatif untuk disiarkan.Kalau dinilai ada kolusi antara Ketua Dewan Syuro PBB, yah wallahualam. Namun sebenarnya politik dengan dunia peran saling terkait. Ada orang yang sepenuhnya aktor lalu populer dan terpilih menjadi seorang politisi. Tapi negara berkembang seperti kita ini, pemain film yang poluler lalu penjadi politisi, saya kira agak susah juga. Kalau saya menempuh cara sebaliknya, saat masih muda sering main drama.Namun setelah satu tahun, saya pikir masa depan tidak akan cerah. Cukup lama sebenarnya meninggalkan dunia peran hingga akhirnya ada tawaran untuk memerankan film Laksamana Cheng Ho. Jika ini ada dampaknya pada pemilu saya juga tidak bisa memprediksikan. Mungkin akan ada tapi sejauh mana besarnya sekali lagi saya belum tahu. Tapi film ini bisa dipakai untuk kumpul-kumpulkan orang banyak, ya kalau orang menyebutnya sebagai ajang kampanye. (*)[makassar, 26 May 2008]
Sandeq Race Butuh Perhatian Semua PihakPagelaran Sandeq Race tahun 2007 kembali akan digelar 17 Agustus. Namun, pelaksana even yang bertujuan untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya bahari lokal tersebut masih dibelit beberapa persoalan.
Antara lain masih seretnya dukungan anggaran, plus kurangnya perhatian pemerintah daerah. Bagaimana pihak penyelenggara menyikapi hal tersebut? Apa komentar mereka tentang dukungan pemerintah dan sejauhmana even tersebut memberikan kontribusi terhadap apresiasi bahari di Sulawesi?
Lalu, apa target yang akan dicapai dalam even tahun ini? Berikut petikan wawancara eksklusif wartawan Harian Fajar, ABDUL RAHMAN dengan pengurus Forum Lopi sandeq, Horst H Liebner di redaksi Fajar, Rabu 1 Agustus.
Tahun ini Sandeq Race kembali akan digelar. Bagaimana kesiapan pihak penyelenggara?Sampai saat ini kami telah melakukan berbagai hal menyangkut pagelaran mendatang. Administrasi peserta yang sudah rampung dan beberapa kendala teknis lainnya seperti layar, sudah tidak ada masalah. Sudah kami siapkan, tinggal dipakai saja.Kenapa mesti panitia yang menyiapkan layarnya?Karena lomba Sandeq ini tidak memungut biaya pendaftaran. Kami bahkan menyiapkan kompensasi tersendiri kepada peserta sebagai biaya ganti rugi selama tidak melaut karena ikut Sandeq Race ini.Dari sisi peserta, adakah peningkatan dibanding tahun lalu?Sejak pertama kali dilombakan tahun 1995 lalu, pesertanya terus meningkat. Kalau tahun lalu pesertanya hanya 48, maka untuk kali ini sudah 53 peserta yang menyatakan kesiapannya bertanding.Apa yang dapat dilihat dan dirasakan, baik tim penyelenggara maupun masyarakat, dari lomba ini?Salah satunya adalah Sandeq tidak punah. Seandainya saja lomba ini tidak diadakan, boleh jadi perahu Sandeq sudah lama ditinggalkan. Hal ini bukan hanya saya yang mengatakan, akan tetapi sudah menjadi pendapat umum, baik oleh pengamat di daerah maupun pemilik perahu Sandeq sendiri.Untuk diketahui, sejak dua tahun terakhir, para nelayan Mandar sudah tidak lagi menggunakan perahu Sandeq. Dan memang, fakta menunjukkan bahwa baik di Sulsel maupun di Sulbar, perahu layar sudah ditinggalkan untuk pelayaran jarak jauh. Pada umumnya nelayan di daerah ini menggunakan atau beralih ke kapal bermesin.Apa kelebihan atau nilai tersendiri dari Sandeq sehingga Anda begitu antusias menggelar even ini?Hanya satu, jangan sampai Sandeq hilang di komunitasnya. Perlu diketahui, proses pembelajaran untuk menjadi pelaut yang ulung jauh lebih efektif di atas kapal layar ketimbang kapal bermesin.Jika Sandeq hilang maka ada bahayanya adalah keterampilan yang didapat dari kapal layar juga akan ikut menghilang. Dengan mempertahankan Sandeq, saya kira proses belajar-mengajar menjadi pelaut ulung akan masih dan terus berlanjut.Kembali ke rencana lomba, sejauh ini apa saja kendala yang dihadapi penyelenggara?Di tahap awal, kami sempat mengalami persoalan pada besarnya animo masyarakat yang ingin ikut tapi tidak didukung oleh jumlah perahu. Di awal pendaftaran, itu ada 64 peserta yang mendaftarkan diri. Namun setelah diperiksa kelayakan Sandeq yang akan ikut lomba, ternyata hanya 53 Sandeq saja yang laik.Ada lagi yang lain?Kendala utama kami adalah masalah klasik, yaitu soal terbatasnya anggaran. Pada kasus ini, saya melihat satu fenomena kurang bagus di mana pengusaha di Sulawesi ini sangat kurang apresiatif pada kegiatan ini. Bahkan yang sangat ironi, ada bank terkemuka di Sulawesi sini yang dengan bangganya memasang perahu dan foto-foto lomba Sandeq Race dalam kalendernya, tapi ketika tawari untuk menjadi sponsor, mereka malah menolak. Tidak lucu kan?Lalu, siapa-siapa saja yang mensupport Sandeq Race ini?Ini yang benar-benar ironi. Justru yang pertama kali bersedia menjadi sponsor kami adalah pihak luar negeri, Australia. Sama seperti tahun lalu. Mereka lebih dahulu merespons kegiatan ini dibanding dengan orang di Indonesia khususnya di Sulawesi ini. Padahal, Sandeq Race ini kan bertujuan mempertahankan tradisi Sulawesi. Saya juga cukup heran, kok orang asing yang harus bekerja supaya tradisi di Sulawesi dapat dipertahankan.Syukurlah, Sandeq Race ini juga banyak mendapat dukungan dari pejabat-pejabat teras di Sulbar dan Walikota Makassar. Saya kira tanpa dukungan mereka lomba tahun lalu dan tahun ini tidak akan berjalan maksimal. Dan saya rasa, mereka juga mengharapkan agar orang-orang yang berkecimpung di dunia usaha di Sulawesi juga turut berpartisipasi untuk memperlihatkan kecintaannya pada budaya Sulawesi.Hal lain, adakah penampilan atau kemasan berbeda pada pelaksanaan Sandeq Race kali ini?Saya kira tetap sama dengan tahun lalu. Setiap peserta akan diberikan bendera merah putih untuk dipasang di perahu masing-masing sebagai tanda dan sikap nasionalisme para peserta. Suatu hal yang sejak Sandeq Race pertama kali digelar tahun 1995 lalu, sudah kami terapkan.Selain itu, tahun ini juga diberlakukan lomba segi tiga di tiga tempat, yakni di Majene, Polewali, dan SumpangbinangaE dengan tujuan memberi kesempatan kepada peserta untuk melakukan perbaikan atas kerusakan yang dialami pada etape-etape sebelumnya.Dari sisi sambutan masyarakat, bagaimana?Sambutan dari masyarakat sangatlah heboh. Mereka mulai mempersiapkan seluruh kelengkapan dalam menyambut peserta lomba.Harus kami akui bahwa kemauan nelayan Mandar dalam mengikuti lomba ini tidak bisa dikalahkan oleh para peserta lomba formula satu. Mereka begitu antusias. Bahkan anak-anak gadispun mengetahui nama-nama perahu lomba, nama pengemudi lomba dan berapa rangking dari keseluruhan peserta. Itulah indikasi yang dapat dilihat betapa antusiasnya mereka dengan ajang ini.Kenapa Sandeq Race ini tidak dijadikan saja sebagai kegiatan rutin atau dimasukkan dalam kalender even Pemda Sulsel atau Pemda Sulbar?Saya sebenarnya mempunyai harapan besar, pada suatu saat nanti pemerintah yang langsung mengadakannya. Tapi kalau mau jujur, kegiatan ini sesungguhnya juga sudah menjadi acara rutin. Masalahnya, ketika penyelenggaraannya diserahkan ke Pemda, rutinitasnya terpotong. Ya, setiap kali pengelolaan diserahkan ke jajaran pemerintah, mereka yang ditugaskan untuk mengelolanya tidak begitu peduli. Mereka kurang inovatif dan cenderung stagnan. Makanya pada tahun 2006 kami diminta oleh Menpora untuk mengambil alih acara ini.Tadi Anda menyebutkan bahwa peserta kali ini mencapai 53 perahu. Apa itu tidak akan menyulitkan koordinasi di tingkat panitia?Salah satu kesulitan kami adalah susahnya komunikasi antarpanitia. Dengan 53 perahu, panjang garis startnya akan mencapai 1,5 km. Jelas ini membutuhkan dukungan teknologi komunikasi. Tahun lalu kami pelajari biaya komunikasi amat tinggi sehingga untuk tahun ini kami akan menggunakan alat telekomunikasi berupa Handy Talk (HT) sebanyak mungkin.Yang lainnya adalah kualitas pencetakan layar. Itu lagi sangat berhubungan dengan adanya sponsor. Kalau sponsor datang tiga hari sebelum lomba dan minta gambar yang rumit, dengan ukuran layar puluhan meter, tentunya akan sulit sekali.Harapan Anda pada pelaksanaan Sandeq Race kali ini?Lomba Sandeq Race ini janganlah dianggap atau dijadikan ajang mencari keuntungan. Tapi, jadikanlah sebagai media mempertahankan nilai-nilai kebudayaan yang sangat berharga di Sulawesi ini. Karena itu, Sandeq Race ini butuh perhatian dari semua pihak yang menginginkan budaya nenek moyangnya dapat eksis.Selain itu, mudah-mudahan dengan tampilnya Pemprov Sulbar sebagai penyelenggara utama lomba Sandeq Race dapat mandiri dan lebih bernilai, baik dari segi organisasi hingga masyarakat umum tahu dan paham tentang budaya ini.(parisabdi@yahoo.co.id)[makassar, 3 August 2007]
ISTILAH penyambutan maba boleh saja berubah nama dari Ospek menjadi PMB. Namun, kemasan di lapangan masih menawarkan produk lama.****
MATAHARI belum sempurna betul mengintip dari tirai awan timur. Serombongan wajah-wajah lugu terlihat tergesa-gesa menuju ke kampus UNM Parangtambung. Dari aksesoris yang dikenakan, jelas mereka itu mahasiswa baru yang telah resmi menjalani prosesi PMB.
Beraneka ragam aksesoris yang mereka kenakan. Ada yang mengenakan pakaian seragam berwarna ungu kombinasi ikat kepala ungu. Selain itu, ada pula yang mengenakan baju kemeja lengan panjang warna biru. Tas dari karung terigu yang juga berwarna biru.
Untuk maba lelaki, kepala mereka ada yang sudah terlihat plontos. Bagi maba perempuan, diperkenankan mengikat rambutnya dengn pita berbagai warna.
Ritual tahunan penyambutan maba setiap tahunnya memang tidak terlepas dari peragaan pernak-pernik itu. Meski, nama prosesi telah diubah, namun perlakuan dan pelaksanaan tetap menampilkan gaya lama.
Indikasi kekerasan masih kerap terlihat diperagakan. Maba masih dilatih dengan gaya “militer”. Mulai dari jalan jongkok hingga push up. Pantauan Fajar di beberapa fakultas kemarin, beberapa panitia pelaksana saling berebutan aktualisasi di hadapan yuniornya.
Hal lain yang tak pernah absen adalah desas-desus pungutan liar (pungli). Praktik ini bukan lagi barang langka. Padahal, sejak awal pihak birokrat kampus sudah menampiknya. “PMB di UNM tidak ada kekerasan dan pungutan liar,” kilah Pembantu Rektor III UNM, Prof Dr Hamsu Gani.
Kendati praktik kekerasan masih kerap dipertontonkan, namun dari tahun ke tahun hal tersebut mulai diminimalisir. Beberapa fakultas yang tidak memberikan kewenangan penuh kepada mahasiswa menangani prosesi PMB, telah mampu meredam tindak kekerasan tersebut.
Salah satu contonhya adalah Fakultas Teknik (FT). Untuk kali pertama, pimpinan fakultas eksakta ini memilih menggelar PMB dalam bentuk pesantren mahasiswa di luar kota. Selasa kemarin, sekira 400 mahasiswa baru FT diarak menuju Padang Lampe, di Pangkep, untuk menerima siraman materi berorientasi akademik-religius.“Kita memberikan pencerahan rohani kepada maba Teknik agar mampu menyatu dengan kondisi kampus nantinya,” ujar Dekan FT, Aminuddin Bakri.
Dari kegiatan ini, Aminuddin berharap konflik yang kerap melibatkan fakultas binaannya pelan tapi pasti dapat dihilangkan. “Ini memang bukan jaminan, tapi saya yakin mampu meminimalisir,” tegasnya.
Pada akhirnya, kerinduan penerimaan maba yang lebih akademik di setiap kampus sangat dirindukan saat ini. Sebab membentuk watak seseorang dengan tindak kekerasan, berpeluang besar melahirkan embrio kekerasan gaya baru di dalam dunia kampus. (*) [makassar, 29 August 200]
MESTIKAH mahasiswa baru (maba) disambut dengan peragaan yang menakutkan? Apa substansi yang ingin dicapai oleh panitia Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) tahun ini?****PERTANYAAN itu dilontarkan Muhajir, sesaat setelah Fajar menyapanya, Senin 27 Agustus. Lelaki berusia 40 tahun ini adalah salah satu orangtua mahasiswa baru di UNM. Ayah dari dua anak itu terkesima di pintu gerbang Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Makassar (FBS UNM), Senin 27 Agustus. Ia berdiri mematung, mendongakkan kepala menatap gerbang pintu itu.
Ia termangu memandang sebuah baligo tiga dimensi dengan patung mummy sedang bersujud. Kedua tangannya yang panjang dalam posisi mencengkeram. Kepalanya mendongak keluar, memamerkan gigi-giginya yang runcing, memerah.
Di tempat itu, setiap orang yang hendak memasuki kampus FBS UNM, bakal disambut dengan baligo tersebut. Tertulis jelas di papan baligo itu, FEMA (Federasi Mahasiswa) FBS UNM. Di sebelah kanan dan kiri, mengapit dua umbul-umbul warna hitam dengan tulisan Totaliter 2007, berwarna ungu.
Bukan hanya Muhajir yang mengalami hal yang sama. Setiap orang yang melintasi pintu kampus itu, bakal menghentikan langkahnya, sekadar menatap sajian panitia penerimaan mahasiswa baru di fakultas “ungu” tersebut.
Tahun ini, fungsionaris mahasiswa FBS mengusung tema Totaliter sebagai branding PMB. Totaliter adalah akronim dari Transformasi Dialegtis, Intelektual dengan Cinta dan Religius.
Nyaris di semua universitas di Makassar, trend penamaan PMB menjamur setiap tahunnya. Di FBS sendiri, penamaan PMB selalu melakukan penyesuaian. Dalam tujuh tahun terakhir, nama-nama yang pernah dipakai adalah Suntik, Strategi, Proletar, Manifesto, Violeta, dan Praksis. Fungsionaris mahasiswa FBS menyakini, setiap penamaan PMB bakal berdampak pada corak dan karakter ideologi yang akan diusungnya, untuk menjadi doktrin kepada mahasiswa baru. “Totaliter mempunyai makna gerakan mahasiswa secara menyeluruh di kampus ini,” terang Presiden Mahasiswa FBS, Arsal Arif.
Menurut mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia ini, perjuangan dan gerakan mahasiswa tidak akan mumpuni tanpa dilandasi prinsip yang total. Karena itulah maka momen penyambutan maba tahun ini, prinsip itu lebih dini ditanamkan.
“Rapuhnya gerakan mahasiswa saat ini disebabkan tidak tuntasnya melakukan pengawalan,” kilah mahasiswa eksponen Proletar 2003 ini.
Seiring dengan perubahan penamaan, satu hal yang tidak pernah berubah di fakultas ini adalah memunculkan penyimbolan yang terkesan menyeramkan. Salah satu simbol yang tidak pernah absen adalah replika mummy. Setiap tahun, hanya bentuknya yang terus mendapatkan gubahan kreasi.
"Di FBS, replika mummy tidak dianggap menyeramkan. Akan tetapi, sebuah hasil kreasi dari tangan-tangan lincah mahasiswa Seni Rupa,” tepis Arsal.
Mengapa mengambil mummy sebagai simbol idola? Arsal berpendapat, mummy mempunyai karakter yang kekal dan abadi. Ia adalah benda yang tidak lapuk sampai kapan pun. Mummy, menurut Arsal, melambangkan sebuah nilai kebudayaan dan seni yang tidak pernah keropos termakan zaman. Dengan dasar tersebut, karakter mummy mempunyai filosofi tersendiri bagi keberlangsungan lembaga kemahasiswaan di UNM.
“Lembaga di FBS diharapkan berjaya sepanjang masa untuk mengawal perjalanan kemahasiswaan di UNM,” tekad Arsal.
Bukanya hanya di FBS, aksesoris penyambutan mahasiswa baru yang terkesan menyeramkan juga terlihat di Fakultas MIPA. Di pintu gerbang fakultas percontohan tersebut, terpampang gambar baligo mahluk yang menyeramkan. Pemandangan yang sama juga dapat dijumpai di dua titik kampus UNM, yakni Gunungsari dan Bantabantaeng.*
[makassar, 28 August 2007]
Prorevitalisasi Minta Lokalisasi
Berat beranjak dari lokasi "persemayaman". Demikian yang dirasakan para lelaki yang merasa bisa berubah wujud jadi perempuan ini.
****
BUNDA Lin tampak sedikit lelah. Rambut lurusnya terlihat tidak beraturan tertiup angin malam. Sorotan lampu jalan yang menembus celah daun membuat raut muka "wanita" ini tampak putih bersinar.
Gayanya yang kemayu dapat memancing dugaan awal. Sesaat, sosoknya mampu mengecoh siapa saja yang melihatnya. Dari style dan pembawaannya, Bunda Lin telah sempurna menjadi "wanita" idaman. Sangat feminis.
Bunda Lin yang berusia 36 tahun itu sangat komunikatif. Dengan sikapnya yang ramah ia menyapa semua anak buahnya yang telah lebih dahulu tiba. Tanpa terkecuali kepada penulis.
Sesekali Bunda Lin mencoba menyentuh beberapa bagian sensitif tubuh penulis. Ia begitu "agresif". Tak lupa ia mengulurkan tangannya mengajak berkenalan. Tentu dibarengi dengan gaya adegan "panas" yang gemulai.
Suasana cair memulai perjumpaan penulis dengan Bunda Lin. Ia bercerita, lebih suka menggeluti kehidupan malamnya itu. Toh, ia dapat mengumpulkan uang banyak dengan aktivitasnya.
Kendati itu, Bunda Lin punya profesi lain. Sebagai penyanyi panggilan. "Saya ini entertainer lepas. Di mana-mana saya dipanggil manggung,'' tuturnya halus.
Berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersil (PSK), Bunda Lin tidak merasa risih. Bukannya tidak ada profesi lain. Namun, akunya, hal itu telah menjadi bagian dari kehidupannya.
Ia mencontohkan Yolanda dan beberapa rekannya yang lain. Menurut Bunda Lin, anak buahnya masing-masing mempunyai keahlian tersendiri. Ia mencontohkan, beberapa di antara mereka membuka jasa layanan salon dan menjahit.
Awalnya, Bunda Lin enggan berkomentar tentang revitalisasi Lapangan Karebosi. Ia lebih memilih penulis membicarakan tentang kehidupan waria. "Kalau mau dalami kehidupan waria Anda harus rasakan dulu pelayanannya," tuturnya menawarkan pada penulis.
Namun, setelah didesak, ia akhirnya buka mulut. "Kami sebenarnya berat untuk mendukung. Tapi, mau apa lagi. Kami hanya menurut saja keinginan pemerintah kota," ujarnya sambil memainkan tombol handphone (HP) yang menggantung di lehernya.
Meski ia mengaku rencana itu merugikan komunitas waria. Namun dirinya meyakini pembangunan tersebut bakal menguntungkan semua pihak, termasuk mereka. "Sebagai warga kota yang baik, revitalisasi itu tidak usah kami tolak," tukasnya.
Alasannya, dengan revitalisasi tersebut Karebosi akan semakin indah dan bakal didatangi banyak orang. Otomatis para waria berpeluang besar menggaet pelanggan yang banyak. Banyaknya pelanggan membuat mereka dapat meraup untung melimpah.
Bunda Lin sedikit menggeser tempat duduknya. HP di tangannya terus dimainkan. Sesekali mulutnya melantunkan nyanyian singkat. Tiap liriknya diikuti goyangan dari beberapa anak buahnya. Salah satu lagu yang dibawakan malam itu adalah Kucing Garong. Katanya, lagu tersebut tak pernah absen dilantunkan setiap kali konser.
"Yang pasti kami juga meminta agar pemerintah juga pro dengan kami. Setidaknya mereka membuatkan lokalisasi untuk persinggahan tetap,'' pinta Bunda Lin.
Lokalisasi itu, menurutnya, turut membantu penataan Karebosi yang lebih baik. Pasalnya, mereka mengaku tidak akan berkeliaran di mana-mana jika telah disiapkan tempat. "Mengapa banyak rekan kami yang keluar, karena tidak ada basecamp buat kami," terangnya.
Tak terasa perbincangan dengan Bunda Lin telah berlangsung lama. Malah menurutnya, penulis telah menyita waktunya sehingga beberapa pelanggannya lepas begitu saja.
Dengan bahasa yang halus ia berusaha mengakhir perbincangan itu. "Besok malam kita ketamu lagi di tempat ini yah..!," ucapnya sambil berlalu menemui rekan-rekannya yang lain. Tidak lupa ia berikan nomor HP-nya pada penulis. (*)
[makassar, 24 October 2007]
"Kampus" Ditutup, Meluber di Jalanan
Semua berjalan seperti biasa. Tidak ada hal yang istimewa. Mereka tetap "genit' menyambut tamu-tamunya. Tak terkecuali pada saat penulis menyambangi mereka, Minggu 21 Oktober.
****
GUMPALAN asap rokok mengepul dari bibirnya yang "seksi". Sebuah tas hitam tergantung bebas di bahunya. Sesekali jari lentiknya menyapa lalu lalang pengguna jalan. Dia mengaku akrab dipanggil Yolanda.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, dua orang sesama jenis terlibat percakapan dengan seorang lelaki bertubuh bongsor. Beberapa saat kemudian mereka pamit.
"Aku duluan yah...!," ujarnya. Oleh rekan-rekannya, ia disapa Sinta Fitri. Bibirnya mengulum senyum mesra di balik deru knalpot motor yang dinaikinya.
"Selamat malam, Mas!," sapa Yolanda saat penulis menghampirinya. Sedikit basa-basi, namun penuh "aksi".
Ia memilih duduk di pinggir trotoar Jl Sudirman samping Monumen Mandala Makassar. Jarum jam menunjuk angka 23.30 Wita.
Tak berama lama kemudian satu persatu rekan-rekan Yolanda berdatangan. Mereka langsung melebur bersama penulis. Sesekali tawa menggaung dari pita suaranya. Terdengar serak meski sedikit sumbang.
Bukan hanya Yolanda. Jejalan waria lainya menjamur di lokasi itu. Selama ini mereka lebih enjoy main kucing-kucingan. Kendati di depan Monumen Pembebasan Irian Barat itu bukan tempat asing bagi mereka. Hanya saja, mereka lebih memilih beraksi di sudut lapangan Karebosi.
Masalahnya, lapangan yang mereka namakan sebagai "kampus" tersebut bakal direvitalisasi. Sehingga tak ada pilihan lain bagi mereka untuk mencari "kampus" baru."Kami terpaksa bermain transparan," ujar Yolanda diamini rekan-rekannya yang lain.
Meluber di jalanan, diakui Yolanda, punya dampak tersendiri. Tamu-tamunya dominan enggan bertransaksi di lapangan terbuka. Imbasnya, penghasilan mereka turut berpengaruh. Meski demikian, mereka tetap santai menjalaninya.
"Kalau mereka butuh, kondisi apapun pasti dijalani," tukasnya polos.
Sejak lokasi mereka ditutup untuk kepentingan revitalisasi, praktis para waria ini memilih jalanan sebagai persinggahan. Di "kampus" terbuka ini, mereka mengaku sedikit kikuk.
Selain itu, di tempat ini mereka kerap mendapat gangguan dari beberapa pemuda yang melintas. Tidak sedikit dari mereka yang dicibir dan menjadi bahan tertawaan.
Namun hal tersebut sudah akrab di telinga. Seperti halnya saat penulis sedang berbincang dengan mereka. Tiba-tiba sekelompok remaja dengan iring-iringan kendaraan bermotor melintas dan melontarkan ucapan yang menyinggung kehidupan mereka.
Bukan hanya itu, di tempat ini mereka juga mengaku tetap waspada dengan incaran dari razia petugas yang berwajib. Bahkan, tidak jarang dari mereka mengaku takut menampakkan diri di depan umum.
Hanya saja, tuntutan hidup memaksa mereka tak bisa berbuat apa-apa. "Kita hanya bisa improvisasi dengan para pelanggan," timpal Yolanda.
Satu hal yang menarik buat mereka adalah interaksi dengan dunia luar lebih terbuka. Di tempat tersebut mereka lebih bebas memilih "pasangan". "Namun itu tadi, mereka risih bertransaksi," bebernya.
Menjadi waria bukanlah pilihan. Namun itulah konsekuensi hidup. Tempaan gaya kota metropolis membuat mereka tetap percaya diri tampil memeriahkan Makassar. Sekat mental yang dimiliki kian kuat kendati berada di manapun.
Sehingga tidak heran jika saat lapangan Karebosi direvitalisasi, mereka tak sepenuhnya patah semangat. Malah, menurut mereka, masih banyak tempat lain untuk tetap eksis.
Perbincangan dengan Yolanda terhenti sejenak. Sebuah sepeda motor terlihat datang menghampiri. Pengendaranya langsung memarkir motornya di bawah pohon samping Monumen Mandala. Sejenak Yolanda menyapanya dengan halus.
"Namanya Carolina. tapi kami biasa panggil Bunda Lin," ujar Yolanda memperkenalkan.
Sejurus kemudian Bunda Lin turut berbaur. "Saya agak telat karena baru pulang dari nyanyi," tukas Bunda Lin sembari mengerlipkan sebelah matanya. (bersambung)
[makassar, 23 October 2007]
Semua berawal dari soal secuil. Sekelumit cerita yang menyusun loker-loker gelap. Hanya bisik angin yang sesekali mengintip dari lubang kunci. Selebihnya, menyatu dalam paduan hening yang rapi.Semua berawal dari senyuman hambar. Tatapan yang menusuk ulu hati. Redup bagai pelita merindukan setitik asa.Semua berawal dari titian harap. Suara anjing melolong memperjelas kedunguan. Debu berbisik di jendela kusam. Ada gelisah menyentak batin.Semua berawal dari panggung eksotis. Hidup glamor bagi lampu diskotik yang rewel. Bayangan jari lentik menggelitik, mengundang ragam rasa keluh.Semua berawal dari kubangan luka. Mengiris sela-sela tulang runyam. Tak ada tetes darah mengalir keruh. Meski nyeri menyengat tulang sumsum.Semua berawal dari sengketa. Bara dada menguap marah. Gelombang rasa panas membara. Tak ada cinta maupun asmara. Hanya menyisakan kata murka.Semua berawal dari jeritan hati. Harga-harga kian meninggi. Mahal tak mampu terbeli. Paling murah jadi anak tiri. Semua berawal dari kemunafikan. Jajaran legislasi berlomba korupsi. Jurnalis beradu argumentasi. Eksekutif saling caci maki. Polisi terang-terangan kolusi.Semua berawal dari simfoni yang sumbang. Saat kuremas lipatan kertas dari saku baju. Kristal mataku melirik setiap potongan kata yang terpisah. Di situ terlulis cinta tanpa huruf yang pudar. Semua berawal dari keluguan. Saat roda kematian menggilas nurani mimpi. Tak ada persembahan yang tersisa. Hanya bayang yang tak mampu diraba. Semua berawal dari sekantong nanah. Membuat luka tanpa darah. Denyut nadi berdetak tanpa nada. Auman singa tertawa gembira.Semua berawal dari lapaz-Nya. Bibir-bibir kering mengatup satu sama lain. Ada getaran yang membentuk lorong-lorong damai.Semua berawal dari akhir. Maut menggugah sadar.Paradoks bermimpi kata. Tak mau berubah arah. Makassar, 060708