Jumat, 21 November 2008

EKSLUSIVE INTERVIEW [dua]


Laksamana Cheng Ho Jadi Daya Tarik Menuju RI 1

Genderang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 belum juga ditabuh. Namun, sejumlah tokoh politik nasional telah melakukan berbagai manuver. Mulai dari sosialisasi figur kandidat hingga merancang sederet platform politik.

Semua itu untuk meraih simpatik seluruh konstituen di republik ini. Salah satu tokoh yang disebut-sebut bakal memanfaatkan momen menduduki kursi RI 1 adalah Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra.

Seperti apa pandang mantan Menkum HAM tersebut terhadap bangsa ini? Bagaimana intrik politik dari mantan Ketua Umum DPP PBB tersebut? Lalu, bagaimana Yusril mengurai setiap persoalan yang sekian lama mendera bangsa ini? Secara gambling, kepada Jurnalis Harian Fajar, ABDUL RAHMAN, Yusril membeberkan ide-idenya saat berkunjung di redaksi Fajar, Jumat 23 Mei.

Selamat malam! Kesan Anda setelah hadir di Makassar?

Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih atas kesediaan Harian Fajar menerima dengan baik kunjungan saya malam ini. Yang pasti bahwa saya tidak tahu masalah apa yang bagus untuk saya bicarakan. Jadi bergantung apa yang akan
ditanyakan dan saya akan menjawabnya.

Anda disebut-sebut bakal mencalonkan diri pada Pilpres 2009 mendatang. Apa yang Anda lakukan untuk mempersiapkan amunisi pada momen itu?

Rupa-rupanya saya harus menyampaikan visi-misi. Sekarang ini belum saatnya kampanye seperti tokoh politik lain. Akibatnya, ada salah satu tokoh politik nasional yang telah kena "semprit" dari SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, red). Saya melihat bahwa sekarang sudah saatnya kita berpikir secara lebih sistematik, cerdas, dan tepat terkait masalah-masalah mendasar yang dialami negara kita ini. Lebih 60 tahun kita merdeka, dan banyak kemajuan-kemajuan yang kita lakukan di berbagai bidang, seperti bidang sosial, politik, ekonomi yang kita capai.

Tapi, banyak juga hal-hal yang kita rasakan kurang dan masih merupakan satu tantangan-tantangan berat di masa sekarang dan masa yang akan datang dan kita melihat suatu pemecahan yang sistematik tentang hal itu. Jadi, dari segi konsep kita bernegara, saya melihat bahwa apa yang sudah kita lakukan mulai dari era reformasi telah melakukan amandemen terhadap konstitusi yang sebenarnya hal itu sudah berada pada sisi yang benar.

Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu kita pertajam dan kita perjelas karena kesimpangsiuran terhadap masalah ini akan mempunyai dampak ke berbagai sektor. Seperti, bidang politik, ekonomi dan sosial.

Seperti apa perubahan- perubahan mendasar yang telah dilakukan terhadap bangsa ini?

Saya melihat bahwa itikad untuk melakukan perubahan pada arah yang baik terus digalakkan. Contohnya, telah dibentuknya lembaga-lembaga baru untuk menciptakan masyarakat yang lebih demokratis, lebih transparan. Tetapi, di samping itu juga kita menemukan banyak kejanggalan-kejanggalan dalam pelaksanaannya. Dan, pertanyaan yang mendasar adalah apakah kita ingin betul-betul mau menciptakan apa yang dikawal reformasi, atau kita ingin memperkuat salah satu institusi kenegaraan itu sendiri.

Seperti apa yang Anda maksudkan?

Contohnya saja institusi DPR. Sepertinya, DPR kita itu lebih kuat dari lembaga yang lain. Padahal yang kita inginkan adalah keseimbangan dan saling mengontrol antarlembaga-lembaga negara itu. Ini mesti didudukan secara bersama bahwa sistem kita tetap sistem presidential, walaupun mengandung elemen-elemen parlementer di dalamnya. Tetapi saya tekankan bahwa kita tidak mengarah ke sistem parlementer itu. Hal yang tidak menjadi konsen kita bersama adalah mengenai otonomi daerah ini.

Selalu muncul pertanyaan bahwa akan ke mana perjalanan bangsa dan negara kita kedepan?

Kita tidak bisa bergerak ke pendulum satu ke pendulum lain secara institusi. Dulu sangat sentralistis, sekarang kita mau desentralisasi. Semuanya itu diserahkan kepada daerah. Akibatnya, akan menghambat laju gerak pembangunan sosial dan ekonomi kita sendiri.

Apa yang Anda inginkan sebenarnya?

Menurut saya, sebenarnya sudah saatnya kita mengkaji ulang masalah ini dengan jiwa
dan semangat yang lebih besar. Betulkah bahwa kewenangan dari pemerintah pusat itu hanya penanganan dalam negeri berupa pertahanan, keamanan, hokum,dan agama.

Sementara banyak masalah-masalah yang sebenarnya membutuhkan suatu penanganan secara integratif, tidak menimbulkan suatu krusial di daerah,tapi juga memperlancar proses pengambilan keputusan dalam rangka mendukung investasi kegiatan-kegiatan lini di daerah.

Dan, saya lihat masalah ini juga harus kita lakukan pembenahan-pembenahan yang lebih sistematik, sehingga masing-masing daerah tidak jalan sendiri. Selain itu, tidak bisa suatu aturan di daerah yang dijalankan lantas kemudian diblok oleh satu daerah lain.

Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan listrik di pulau Jawa kita bangun pembangkit listrik di Palembang. Kabupatennya setuju, tapi ketika mau bangun transmisi melewati kabupaten malah tidak setuju. Memang ini akan menyulitkan laju kita ke depan.

Karena itu, saya melihat bahwa sudah saatnya kita mengkaji ulang masalah ini tanpa mengurangi lebih banyak, tapi memberikan juga kewenangan-kewenangan kepada pemerintah pusat dan provinsi untuk mengintegrasikan kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi di daerah-daerah, sehingga tidak mengalami hambatan yang banyak sekali.

Apa dampak yang ditimbulkan dengan adanya hal itu?

Sekarang ini kita lihat investor yang sulit sekali bernegosiasi dengan begitu banyak bupati, walikota dengan kemauan serta keinginan yang berbeda. Saya sampai sekarang berpendirian bahwa sebaiknya titik berat ekonomi itu diberikan bukan
kepada kabupaten, tapi provinsi.

Untuk pemilihan kepala daerah itupun sebenarnya hanya fokus kepada gubernur yang bisa dipilih langsung oleh rakyat. Tidak dengan sekarang ini sampai bupati, walikota, dan dengan dampak yang cukup luas, terutama banyak sekali pemilu dan menimbulkan dampak di bidang sosial dan politik.

Pilkada ini ditambah pemilu presiden, pemilu DPR, dan DPD. Banyak sekali pemilu dan semuanya itu menimbulkan cost politik yang tinggi. Saya melihat bahwa politisi kita itu bisa banyak kategorinya. Ada yang betul-betul berjuang habis untuk kepentingan orang banyak sehingga sempat banyak berpikir tentang diri sendiri.

Ada juga yang lebih banyak berpikir tentang diri sendiri dan tidak sempat berpikir untuk orang banyak. Ada juga yang pikir orang banyak, tapi berpikir untuk diri sendiri juga. Tapi cost politik yang tinggi ini sebenarnya sedikit banyaknya juga membuat yang dampak kurang sehat bagi upaya awal reformasi untuk memberantas habis praktik KKN.

Tapi dengan politik yang memerlukan biaya tinggi ini sedikit demi sedikit juga seperti agak kontradiksi. Seperti kita tahu bahwa biaya pemilihan persiden (pemilihan umum) itu sampai Rp12 triliun, itu biaya yang sangat besar sekali. Itu yang dikeluarkan oleh Negara, belum lagi yang dikeluarkan oleh yang bersangkutan (para calon. red) untuk kampanye-kampanye sendiri. Sementara masih banyak kebutuhan-kebutuhan lain yang semestinya harus dipenuhi oleh negara untuk lebih meningkatkan kesejahteraan rakyat ini.

Menurut Anda apa yang menjadi persoalan vital yang dihadapi oleh bangsa ini akibat otonomi daerah?

Sekarang ini saya melihat bahwa tidak banyak kekhawatiran tentang disintegrasi bangsa seperti awal-awal reformasi dulu. Pemikirannya pada masa itu kalau diberikan kepada provinsi, maka provinsi itu lebih gampang lepas daripada lepasnya kabupaten. Jadi mungkin ada benarnya, tapi dengan lebih banyak kabupaten/kota yang baru dibentuk sekarang ini lebih menyulitkan juga pemerintah pusat dalam melakukan koordinasi membangun daerah-daerah itu. Lebih mudah bagi presiden itu mengawasi 40 gubernur dari pada mengawasi hampir 500 bupati/walikota seperti sekarang ini. Apalagi hubungan itu biar sebetulnya relatif tapi ada kewenangan spesifik yang diberikan yang sekarang ini sepertinya mencoba jalan sendiri.

Jadi mestinya otonomi daerah ini seperti apa?

Kalau saya sebenarnya, penguatan otonomi ada pada provinsi saja. Tapi barang yang
sudah diberikan itu jangan diambil semua. Mendagri sudah melakukan telaah secara
komprehensif, mana yang gagal berhasil, dan jalan di tempat. Awalnya, saya membayangkan idealnya Indonesia itu ada 43 provinsi, dan otonomi itu diberikan pada provinsi tersebut. Namun Ryaas Rasyid pada saat itu fokus pada kabupaten.

Saya katakan pada saat itu bahwa lebih banyak orang sepakat memecah satu kabupaten menjadi dua ketimbang menggabungkan dua kabupaten menjadi satu. Akibatnya, banyak ekses yang timbul dari adanya pemekaran kabupaten tersebut. Jadi saya pikir dari pada kita banyak membangun infrastruktur pemerintahan dengan perluasan semacam ini, maka lebih baik undang-undang pemekaran wilayah itu harus dikaji ulang.

Sekarang ini, lebih banyak pemekaran wilayah itu diusulkan oleh DPR dari pada usul pemerintah setempat. Ironisnya, pemerintah seakan-akan tidak berdaya dan tidak berani untuk menolak. Menurut saya, praktik otonomi daerah untuk pilkada, cukup gubernurnya saja yang melakukan pemilihan langsung, tapi pemilihan itu serempak. Jadi bupati/walikota dikembalikan pada metode yang lama, dipilih DPRD agar tidak menimbulkan bising politik dan menelan biaya yang tinggi. Itu saya kira lebih efektif. Namun, ini juga harus dilakukan oleh pemerintah pusat secara berani, meski mengorbankan ketidakpopuleran mereka.

Seharusnya apa yang menjadi fokus bagi pemerintah saat ini?

Soal yang menjadi pokus bagi kita sekarang sebenarnya tetap pada persoalan ekonomi. Tapi persoalan ekonomi terkait dengan persoalan non-ekonomi juga. Jadi, ekonomi bisa berkembang dengan tiga faktor ada; ada insvestasi, ada konsumsi, dan manajemen. Tapi investasi sulit sekali jalan karena situasi belum kondusif. Antara lain masalah otonomi ini juga menjadi satu masalah ganjalan bagi investasi.

Di samping itu juga adalah proses kelambanan dalam memberikan satu servis pelayanan investasi ini karena banyaknya kepentingan yang bermain di balik semua itu. Sudah saatnya ada suatu penyehatan yang lebih tegas, lebih jelas membuat investasi kita lebih kompetitif. Oleh karena, investasi ini bisa datang dari luar bisa dari dalam. Tapi dari dalam juga bisa keluar. Banyak investor kita menanamkan modalnya ke Vietnam, Dubai, atau di Tiongkok daripada di dalam negeri.

Kenapa demikian?

Ya, karena memang ada persoalan-persoalan internal kita, di samping kelambanan, banyaknya lika-liku yang harus dilalui dan pajak yang sangat tinggi. Jadi pajak kita itu sangat tinggi bila dibandingkan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Sehingga pajak yang sangat tinggi tidak membuat orang kondusif untuk melakukan investasi.

Seperti apa?

Misalnya, perusahaan jasa. Pertama, kalau kita jadi eksekutif diperusahaan jasa itu dapat gaji sudah dapat PPh. Sudah itu dihitung lagi komulatif, kalau gajinya satu bulan Rp50 juta, berarti satu tahun gajinya Rp600 juta sudah dapat potongan 30 persen. Dihitung-hitung, jadinya 70 persen dan itu membuat orang agak enggan.

Makin tinggi pajak, makin enggan orang melakukan ivestasi dan makin besar kecenderungan orang untuk melakukan manipulasi pajak. Kalau pajak itu lebih simpel, lebih sederhana, kemungkinan juga orang membayar pajak lebih banyak, lebih tinggi, dan kecenderungan orang akan melakukan investasi lebih besar. Sekarang orang menanam investasi di Dubai dikenakan pajak satu kali, besar kecil perusahaan tidak peduli. Soal lain adalah masalah konsumsi. Jika konsumsi meningkat maka secara otomatis
income kita juga akan naik.

Selain masalah tersebut, menurut Anda yang paling mendesak untuk segera dilakukan?

Masalah berat yang kita hadapi adalah masalah subsidi. Subsidi ini di mana masih dilakukan. Malaysia saja masih melakukan subsidi utama pada Bahan Bakar Minyak (BBM), bahkan beras pun dengan jenis tertentu juga disubsidi agar rakyat bisa beli.Kalau sekiranya ada penurunan harga minyak ini walaupun sekarang berat.

Jadi siapapun yang jadi presiden memang tidak punya pilihan kecuali mengurangi subsisdi. Itupun dikurangi 28 persen. Dampak implasinya sekira 12 persen dan berapa persen orang miskin yang muncul tiba-tiba itu sudah bisa diprediksi. Tetapi memang pengalihan subsidi itu dalam bentuk apa. Sekarang ini dalam bentuk BLT.

Tapi saya melihat ke depan subsidi lebih mengarah pada kelompok masyarakat lemah, utamanya petani dan nelayan. Hanya saja, subsidinya seperti apa. Kalau menurut saya jangan pupuk diberikan pada petani, tapi subsidi program. Hal itu akan mendorong orang untuk bekerja. Ambillah dua komoditi seperti beras dan kedelai. Caranya pemerintah mengaktifkan kembali KUD-KUD yang ada dan membeli hasil panen petani.

Pada Pilpres 2009 mendatang beberapa calon telah melakukan sosialisasi awal. Tapi, Anda malah sibuk dengan proses pembuatan film Laksamana Cheng Ho. Apa ini sebuah manuver politik?

Proses film itu sebenarnya sudah selesai. Rencananya, akan disiarkan oleh Metro TV atas keinginan Surya Paloh sendiri pada bulan Agustus hingga Maret 2009 mendatang. Kalau dikatakan ini adalah jalur kampanye, kan yang usulkan untuk disiarkan adalah pemilik televisi yang notabene adalah ketua dewan pimpinan Partai Golkar yang punya inisiatif untuk disiarkan.

Kalau dinilai ada kolusi antara Ketua Dewan Syuro PBB, yah wallahualam. Namun sebenarnya politik dengan dunia peran saling terkait. Ada orang yang sepenuhnya aktor lalu populer dan terpilih menjadi seorang politisi. Tapi negara berkembang seperti kita ini, pemain film yang poluler lalu penjadi politisi, saya kira agak susah juga. Kalau saya menempuh cara sebaliknya, saat masih muda sering main drama.

Namun setelah satu tahun, saya pikir masa depan tidak akan cerah. Cukup lama sebenarnya meninggalkan dunia peran hingga akhirnya ada tawaran untuk memerankan film Laksamana Cheng Ho. Jika ini ada dampaknya pada pemilu saya juga tidak bisa memprediksikan. Mungkin akan ada tapi sejauh mana besarnya sekali lagi saya belum tahu. Tapi film ini bisa dipakai untuk kumpul-kumpulkan orang banyak, ya kalau orang menyebutnya sebagai ajang kampanye. (*)

[makassar, 26 May 2008]

Tidak ada komentar: