"Kampus" Ditutup, Meluber di Jalanan
Semua berjalan seperti biasa. Tidak ada hal yang istimewa. Mereka tetap "genit' menyambut tamu-tamunya. Tak terkecuali pada saat penulis menyambangi mereka, Minggu 21 Oktober.
****
GUMPALAN asap rokok mengepul dari bibirnya yang "seksi". Sebuah tas hitam tergantung bebas di bahunya. Sesekali jari lentiknya menyapa lalu lalang pengguna jalan. Dia mengaku akrab dipanggil Yolanda.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, dua orang sesama jenis terlibat percakapan dengan seorang lelaki bertubuh bongsor. Beberapa saat kemudian mereka pamit.
"Aku duluan yah...!," ujarnya. Oleh rekan-rekannya, ia disapa Sinta Fitri. Bibirnya mengulum senyum mesra di balik deru knalpot motor yang dinaikinya.
"Selamat malam, Mas!," sapa Yolanda saat penulis menghampirinya. Sedikit basa-basi, namun penuh "aksi".
Ia memilih duduk di pinggir trotoar Jl Sudirman samping Monumen Mandala Makassar. Jarum jam menunjuk angka 23.30 Wita.
Tak berama lama kemudian satu persatu rekan-rekan Yolanda berdatangan. Mereka langsung melebur bersama penulis. Sesekali tawa menggaung dari pita suaranya. Terdengar serak meski sedikit sumbang.
Bukan hanya Yolanda. Jejalan waria lainya menjamur di lokasi itu. Selama ini mereka lebih enjoy main kucing-kucingan. Kendati di depan Monumen Pembebasan Irian Barat itu bukan tempat asing bagi mereka. Hanya saja, mereka lebih memilih beraksi di sudut lapangan Karebosi.
Masalahnya, lapangan yang mereka namakan sebagai "kampus" tersebut bakal direvitalisasi. Sehingga tak ada pilihan lain bagi mereka untuk mencari "kampus" baru."Kami terpaksa bermain transparan," ujar Yolanda diamini rekan-rekannya yang lain.
Meluber di jalanan, diakui Yolanda, punya dampak tersendiri. Tamu-tamunya dominan enggan bertransaksi di lapangan terbuka. Imbasnya, penghasilan mereka turut berpengaruh. Meski demikian, mereka tetap santai menjalaninya.
"Kalau mereka butuh, kondisi apapun pasti dijalani," tukasnya polos.
Sejak lokasi mereka ditutup untuk kepentingan revitalisasi, praktis para waria ini memilih jalanan sebagai persinggahan. Di "kampus" terbuka ini, mereka mengaku sedikit kikuk.
Selain itu, di tempat ini mereka kerap mendapat gangguan dari beberapa pemuda yang melintas.
Tidak sedikit dari mereka yang dicibir dan menjadi bahan tertawaan.
Namun hal tersebut sudah akrab di telinga. Seperti halnya saat penulis sedang berbincang dengan mereka. Tiba-tiba sekelompok remaja dengan iring-iringan kendaraan bermotor melintas dan melontarkan ucapan yang menyinggung kehidupan mereka.
Bukan hanya itu, di tempat ini mereka juga mengaku tetap waspada dengan incaran dari razia petugas yang berwajib. Bahkan, tidak jarang dari mereka mengaku takut menampakkan diri di depan umum.
Hanya saja, tuntutan hidup memaksa mereka tak bisa berbuat apa-apa. "Kita hanya bisa improvisasi dengan para pelanggan," timpal Yolanda.
Satu hal yang menarik buat mereka adalah interaksi dengan dunia luar lebih terbuka. Di tempat
tersebut mereka lebih bebas memilih "pasangan". "Namun itu tadi, mereka risih bertransaksi," bebernya.
Menjadi waria bukanlah pilihan. Namun itulah konsekuensi hidup. Tempaan gaya kota metropolis membuat mereka tetap percaya diri tampil memeriahkan Makassar. Sekat mental yang dimiliki kian kuat kendati berada di manapun.
Sehingga tidak heran jika saat lapangan Karebosi direvitalisasi, mereka tak sepenuhnya patah semangat. Malah, menurut mereka, masih banyak tempat lain untuk tetap eksis.
Perbincangan dengan Yolanda terhenti sejenak. Sebuah sepeda motor terlihat datang menghampiri. Pengendaranya langsung memarkir motornya di bawah pohon samping Monumen Mandala. Sejenak Yolanda menyapanya dengan halus.
"Namanya Carolina. tapi kami biasa panggil Bunda Lin," ujar Yolanda memperkenalkan.
Sejurus kemudian Bunda Lin turut berbaur. "Saya agak telat karena baru pulang dari nyanyi," tukas Bunda Lin sembari mengerlipkan sebelah matanya. (bersambung)
[makassar, 23 October 2007]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar