Isu flu burung menjadi santapan hangat pemberitaan di media massa. Benarkah, media khususnya jurnalis kerap menggembor-gemborkan kasus ini?
****
Penyebaran virus flu burung setidaknya menguras perhatian berbagai pihak untuk sejenak berkonsentrasi. Musababnya, virus H5N1 ini dalam sekejap dapat menghilangkan nyawa ratusan bahkan ribuan unggas. Ironisnya, virus yang ditemukan pertama kali di Rusia ini telah menjangkiti umat manusia.
Media massa -- cetak dan elektronik-- menjadi bagian penting dari kasus besar itu. Kehadiran penyakit ini selalu dikemas spesial dalam pemberitaan. Tidak jarang fakta flu burung mendapat tempat khusus di halaman depan surat kabar dan berita utama di media elektronik.
Tidak mengherankan, dalam tempo sesaat, flu burung telah menjadi momok yang menakutkan di tengah masyarakat. Tidak ketinggalan, virus ini telah menggugah nurani para insan media untuk disajikan sebagai berita utama.
Tujuannya, salah satunya adalah proteksi dini dan memacu kewaspadaan masyarakat akan bahaya virus mematikan ini. Selain itu, penyebaran informasi mendalam tentang virus ini juga menjadi vital untuk diketahui.
Persoalannya adalah, apakah pekerja media telah menjalankan fungsi peliputan secara komprehensif? "Jangan sampai para pekerja media malah membangun kepanikan massa terhadap sebuah isu lantaran pemahaman terhadap isu itu tidak akurat," timpal Kepala Biro Harian Kompas, Nasrullah Nara pada Workshop Jurnalis Peliputan Flu Burung.
Reaksi protes tersebut, menurut Nasrullah, muncul akibat ulah jurnalis yang tidak tuntas menyajikan seluruh aspek pada kasus flu burung. Bahkan terkesan, lanjut Nasrullah, pemberitaan di medai massa menjadikan masyarakat kian panik.
Kendati Nasrullah tidak menampik jika kasus flu burung selalu menjadi headline di media massa. Namun, bukan berarti penyampaian kasus ini monoton pada peristiwanya yang tragis.
"Fokus pemberitaan juga bisa untuk membangun kesadaran akan bahaya flu burung, sehingga ada upaya penanganan," jelas mantan wartawan desk humaniora ini.
Sementara itu, aspek lainnya yang tak kalah pentingnya adalah etika jurnalis melakukan peliputan terhadap korban flu burung. Tidak serta merta, pola teknis peliputan digunakan untuk semua aspek liputan.
"Seorang jurnalis yang berempati tentu akan memahami keadaan dirinya, orang lain dan areal liputan,'' papar Dosen Komunikasi Universitas Hasanuddin, Mansyur Semma.
Mansyur menguraikan, hal penting yang harus diketahui seorang jurnalis adalah kondisi psikologi bagi keluarga dan penderita flu burung. Pasalnya, aspek tersebut menentukan adanya informasi yang nantinya dapat disajikan kepada pembaca.
"Selayaknya seorang jurnalis lebih berempati dan memperlihatkan simpati terhadap korban flu burung," imbuh Mansyur.
Dalam hal penulisan pun harus diperhatikan jurnalis. Pemilihan diksi dan rasa bahasa menjadi patokan utama dalam menyajikan informasi kasus flu burung. Terlebih lagi jurnalis diimbau untuk tidak terburu-buru mendeskripsikan fakta-fakta yang bersifat vonis terhadap pasien.
"Jurnalis juga diimbau untuk tidak menuliskan secara full nama dan identitas korban untuk menghindari penerimaan masyarakat yang bersifat negatif," saran Mansyur.
Pada akhirnya, jurnalis, flu burung, dan masyarakat adalah satu rangkaian mata rantai yang tak terpisahkan. Bahawa, pemberitaan penyebaran virus flu burung menjadi salah satu shock terapi khusus bagi masyarakat dan pemerintah agar tidak menanti jatuhnya korban baru. [*]
[makassar, 15 November 2007]
Senin, 24 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar