Sabtu, 22 November 2008

Yang Tersisa dari Penertiban PK5


Tunggulah Pengadilan Tuhan


"Kami bukanlah sampah. Kami manusia yang butuh makan untuk hidup. Dan, kami adalah bagian dari kalian".
****

Kalimat itu tiba-tiba meluncur dari bibir Suriati, 33, yang gemetaran. Tiap kata dilontarkan terbata. Kedua bola matanya sembab menatap puing-puing tempat jualannya yang telah dibongkar. Jelas sekali ada sesak yang bergulung-gulung, meronta dalam dadanya.

Ibu tiga anak ini baru saja "menikmati" tontonan penertiban PKL (Pedagang Kali Lima) oleh petugas Pol PP Kota Makassar. Istri dari Ruslan, 35, tersebut tak pernah menyangka sebelumnya, jika penertiban tersebut juga bakal menimpa kiosnya di Jl AP Pettarani. Betapa tidak, tiga pekan lalu dirinya didatangi petugas Pol PP dan menyatakan jika kiosnya tersebut tidak akan digusur.

"Kita semua langsung kaget saat mereka muncul dan langsung menertibkan kami,'' ujar Suriati yang mengaku tak punya pekerjaan lain selain jualan itu.

Awalnya, kisah Suriati, semua pedagang kaki lima yang ada di seputaran Jl AP Pettarani telah mendapatkan peringatan untuk tidak berjualan di atas got. Selain itu, mereka juga dilarang berjualan di pinggir dekat jalanan. Peringatan itu jauh-jauh hari, diakui mereka, telah diterima.

"Bukannya kami mau pindah, tapi kami akan pindah jika sudah mendapatkan tempat yang strategis untuk berjualan,'' ulas wanita yang memilih pekerjaan PKL sejak 1998 lalu.

Dari waktu ke waktu, tempat yang dimaksud tak kunjung didapatkan. Malah, lokasi itu kian padat dihuni oleh pendatang baru.

"Dulu pemerintah memberikan toleransi berjualan tapi tidak mengambil derah milik jalan,'' ungkapnya.

Kendala lainnya, menurut warga Jl Sukaria 13 tersebut, pemerintah terkesan tebang pilih dalam menertibkan PKL, membuat sebagian dari mereka enggan untuk pindah lantaran tidak ditertibkan secara keseluruhan.

"Kami mau pindah jika semuanya dipindahkan. Jangan cuma satu-satu,'' protes Suriati.

Suriati tidak sendiri. Sainal, 33, juga bernasib serupa. Dari alasan sampai perlakuan, semuanya serupa. Bedanya, saat penertiban, Sainal berupaya keras mempertahankan kiosnya agar tidak ditertibkan. Ironisnya, ulah tersebut malah dianggap melawan kehendak petugas. Tanpa tawaran sebelumnya, ayah sembilan anak tersebut langsung diamankan petugas.

"Kami yakin, Tuhan akan membalas semua perbuatan mereka. Tunggulan azab Tuhan di akhirat nanti,'' ucap Sainal sambil menengadahkan tangannya ke langit.

Sainal merasa jika dirinya dalam posisi teraniaya. Hingga ia yakin jika orang yang teraniaya selalu bersama Tuhan. "Tidak ada kekuatan yang mampu menandingi kekuatan Allah,'' ujar Sainal lagi.

Semenjak Sainal melakoni pekerjaan sebagai pedagang kali lima, dirinya sudah kerap berpindah-pindah. Bahkan, pahit-manisnya digusur telah menjadi warna dalam kehidupannya.

Kini, di atas sejengkal tanah itu, mereka terus meratapi nasib. Siang dan malam "nyanyian" penggusuran terus terngiang di dua telinganya. Mereka tidak tahu sampai kapan rasa was-was itu berhenti memburu. (*)

[makassar, 28 July 2007]

Tidak ada komentar: