

Mereka Meregang Nyawa di Balik Seuntai Asa
Tak ada firasat apa-apa. Lelaki itu berlalu mengantongi secercah harapan.
OLEH: ABDUL RAHMAN
TAKALAR-GOWA
Perempuan tua itu belum berajak dari rumah panggung miliknya. Udara pagi masih menyelimuti kulitnya yang keriput. Tak ada aktivitas yang istimewa hari itu. Waktu menunjukkan sekira pukul 07.00 Wita. Hari itu, Sabtu 22 Nopember.
Dg Jipa, 55, nama wanita itu. Tubuhnya kurus. Tinggi sekira 156 cm. Ia memilih mondar-mandir di dapur. Sejurus kemudian, lamat-lamat namanya disebut. Ada yang mencari dirinya.
Mendengar namanya disebut, Dg Jipa bergegas menuruni tangga rumah. Sembari berjalan, rambutnya yang telah memutih dirapikan, diikat dengan karet.
Bergegas, ia menemui sesosok lelaki yang mendatangi rumahnya. Sedikit ragu, sebab tamu yang tak diundang itu tidak ia kenali. "Dg Nanring". Lelaki itu memperkenalkan dirinya. "Mukanya tidak terlalu tua, berpostur tubuh tinggi," tutur Dg Jipa, saat ditemui di kediamannya, Selasa 24 Nopember.
Sedikit bertanya dalam hati, Dg Jipa menyambut tamunya di kolong rumah. Keduanya berbincang di balai-balai bambu berukuran 4x3. Sebagian tiang penyanggah balai-balai mulai lapuk dikerumuni rayap.
Tanpa basa-basi, Dg Nanring memberitahukan perihal kedatangannya. Intinya, lelaki tersebut hendak mengundang pihak keluarga Dg Jipa membicarakan sengketa tanah yang berada di perbatasan antara Desa Towata dan Desa Tanakaraeng.
"Ia tidak lama. Setelah menyampaikan maksudnya ia langsung pergi," ujar Dg Jipa.
Beberapa saat setelah lelaki itu berlalu, Dg Jipa bergegas ke rumah anak mantunya, Haeruddin. Rumah Haeruddin hanya berjarak 20 meter dari rumahnya. Cukup dengan menyeberang jalan, Dg Jipa sudah tiba.
Tanpa ditanya, Dg Jipa lantas menyampaikan pesan lelaki yang menemuinya. Menurut Dg Jipa, warga Desa Tanakaraeng hendak mencari solusi penyelesaian lahan yang diklaim pihak lain. Waktu pertemuan dijadwalkan, Minggu 23 Nopember, pagi di lokasi lahan.
"Mendapat informasi itu, Haeruddin merasa lega. Apalagi, kasus itu sudah lama hendak dibicarakan secara kekeluargaan," kenang Dg Jipa.
Mendapat ajakan itu, Haeruddin memutuskan berkonsultasi dengan kepala Desa Towata, Hamka T Dg Naba. Selain itu, ia juga mengadukan perihal rencana pertemuan itu kepada Pembina Masyarakat (Binmas) dari Polsek Polongbangkeng Utara bernama, Ishak.
Sepanjang hari Sabtu itu, menurut Dg Jipa, Haeruddin terus berkonsultasi dengan berbagai pihak sekaitan dengan rencana pembicaraan lahan sengketa yang melibatkan pihak keluarganya.
Malam harinya, Haeruddin memilih tetap berada di rumahnya. Ia melewatkan malam itu bersama istri, Dg Bollo, 28. Sesekali ia bercanda bersama anak keduanya, Makbul yang masih berusia 10 bulan.
"Tidak ada firasat jika akan terjadi sesuatu esok harinya," beber istri Haeruddin, Dg Bollo.
Dg Bollo terlihat sedih. Kelopak matanya menyisakan kristal bening. Enggan mengalir. Saat ditemui, wanita itu mengenakan kaos warna krem bergaris cokelat. Plus, sarung kotak warna kuning.
DG Bollo berusaha melanjutkan ceritanya. Matanya tajam, Sembab. Dadanya sesak. Kesedihan bergulung-gulung di rongga dadanya. Tanda-tanda jika malam Minggu tersebut adalah malam terakhir bersama suaminya juga tidak ada. "Ia sempat mengatakan gembira karena sebentar lagi jika masalah tersebut akan segera diselesaikan," kenang Bollo.
****
Minggu, 23 Nopember, Dg Bollo masih menyusui Makbul. Kebiasaan Makmul tiap kali bangun, merengek minta disusui. Sedangkan putera pertama dua pasangan ini, Iskandar, 9 tahun masih terlelap. Maklum, murid kelas lima SD Inpres Homebase Desa Towata Takalar itu sedang libur akhir pekan.
Haeruddin telah bersiap-siap memenuhi undangan warga desa seberang. Tubuh Haeruddin dibalut dengan kemeja warna cokelat plus celana jins warna biru. Tanpa sepengetahuan istrinya, Haeruddin beranjak menuju ke rumah mertuanya, Dg Jipa.
Di tempat ini, Haeruddin meminta bukti pembayaran ganti rugi lahan yang disengketakan. Surat tersebut disimpan oleh mertuanya. Tampak kusut berlipat, meski telah di-press dengan plastik.
Usai meraih surat itu, untuk kesekian kalinya, ia kembali bertemu dengan Kades Towata, Hamka.
"Malah ia mengajak kades untuk ikut serta ke lokasi itu, tapi kades menolak ajakan itu," beber Dg Jipa.
Sekira pukul 07.30 Wita, Haeruddin melenggang menuju lokasi pertemuan yang telah ditentukan. Anak bungsu dari lima bersaudara itu menyelipkan surat kepemilikan tanah di kantong celana bagian belakang sebelah kanan.
****
Pukul 09.00 Wita, Dg Bollo sibuk megupas sisik ikan di dapur. Makbul bermain-main bersama kakaknya di ruang tengah rumah permanen itu. Lantai tak beralas tikar. Hanya ada sepasang kursi plastik, satu meja. Dua buah bingkai foto menempel di dinding. Satu ukuran 10 R. Sisanya berukuran 5 R.
Di dalam bingkai terlihat foto Dg Bollo sembari menggendong, Makmul. Senyum keduanya tersungging manis dari patahan bibirnya. Sebuah meja kayu berbalut kain warna hijau merapat di dinding rumah, bersebelahan dengan posisi kursi.
Dg Bollo baru menyelesaikan beberapa ekor ikan yang dibersihkannya. Namun, tiba-tiba dirinya dikagetkan dengan suara keributan di luar rumahnya. Penasaran, Dg Bollo langsung beranjak dari tempatnya, ia berlari keluar rumah. Di depan pintu, ia diadang beberapa warga.
Bak petir di pagi buta, Dg Bollo mendapat kabar suaminya, Haeruddin menuai musibah. Perasannya kian tidak karuan setelah mendengar kabar jika suaminya terkena tikaman dari beberapa warga. Saat yang bersamaan, Dg Jipa juga tiba menemui anak pertamanya itu. Wanita tua itu turut kaget.
Beberapa saat kemudian, teriakan histeris langsung pecah. Saat itu, Hamzah Dg Sila, terlihat memapah Haeruddin yang sudah sekarat. Sekujur kemeja cokelatnya telah berlumur darah. Haeruddin langsung di angkut ke rumah panggung mertuanya.
"Saya mau larikan ke rumah sakit, tapi tidak ada kendaraan saat itu," ujar Dg Bollo. Matanya kian mulai memerah.
Sekira 20 menit Haeruddin bertarung melawan sakit. Hingga akhirnya pihak keluarga menyaksikan kepala dusun yang sudah lima tahun menjabat itu mengembuskan nafas terakhir.
Sebagian tetangga mulai tumpah melayat. Sebagian di antaranya sungsang dan bertanya-tanya. Hari itu juga, peristiwa ini dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut. Informasi pemicu masih simpang siur di telinga warga.
****
Jauh di seberang sana, hamparan sawah masih berantakan. Beberapa petani sedang memperbaiki pematang dan sisa lahan yang belum tuntas digarap traktor. Sebagian lainnnya, sibuk mencabuti rumput yang tumbuh di antara tanaman di atas pematang.
Sekira pukul 08.40 Wita tiba-tiba, telepon genggam Ilyas Dg Rani, 40 berdering. Satu...Dua ....Tiga..., bunyi dering yang keempat baru ia angkat. Dari balik telepon, kabar buruk menghentakkan perasannya. Tanpa pikir panjang, Ilyas segera menuju ke kendaraan roda duanya dan meninggalkan pekerjaannya. Baju dan celananya masih belepotan lumpur.
Ilyas Dg Rani adalah Kepala Dusun Belampang, Desa Tanakaraeng, Kecamatan Manuju, Kabupaten Gowa. Anaknya, Hasra 13 tahun, baru saja melansir kabar. Beberapa warga dusunnya terlibat perkelahian dengan warga dusun kampung seberang. Jarak antara sawah miliknya dengan lokasi kejadian berkisar 2 kilometer.
"Saya belum tahu pasti kejadiannya. Saya terus memacu motor sambil berusaha menelepon warga lainnya," cerita Ilyas, Selasa 24 Nopember.
Tak berselang lama, Ilyas telah tiba di lokasi kejadian. Jalanan menuju lahan berjarak sekira 200 meter tidak memungkinkan dilalui dengan motor. Selain jalanan menanjak, kondisinya juga berlumpur. Hujan yang mengguyur pada malam harinya, membuat kondisi jalanan semraut. Lokasi itu memang tergolong perbukitan.
Ilyas memilih memarkir kendaraannnya di pinggir jalan. Sebuah mobil mikrolet juga terparkir di tempat itu. Dengan berlari-lari kecil, ia mulai menanjak jalan menuju lokasi sengketa. Di jalanan, ia masih sempat bertemu dengan beberapa wanita yang berlarian. Jerit histeris meraung-raung dari mulut kaum Hawa ini. "Mereka berhamburan sambil teriak-teriak," ujar Ilyas. Beberapa warga juga telah tiba di tempat itu.
Tiba di lokasi itu, Ilyas tak tahu harus berbuat apa. Dilihatnya tiga sosok tubuh telah tersungkur belumuran darah. Beberapa pasang sandal dan topi tergeletak secara terpisah. Di balik kebingungannya itu, ia berhasil mengenali ketiga orang tersebut.
Mereka adalah, Syaharuddin Dg Lawa, Dg Rahim, ipar Syahruddin, dan Baharuddin Dg Nyampa adik Syaharuddin. Nama yang terakhir ini masih dilihat bergerak. Tanpa berpikir panjang, dibantu beberapa warga Baharuddin langsung dipapah menuruni perbukitan itu . Ia menerita luka tebas yang cukup parah di bagian tangannya. "Saya tidak perhatikan tangan apanya yang terluka saat itu," urai Ilyas.
Dua korban lainnya, dipastikan Ilyas, sudah tewas di lokasi sesaat setelah insiden itu. Satu persatu, kedua korban diangkut warga ke atas mobil. Dg Rahim duluan, menyusul kemudian Syaharudin Dg Lawa. Jarak rumah Syaharudin sekira dua kilometer dari lokasi. Mobil bergerak menuyusur liukan aspal butas mengarak tiga korban. Saat itu, jerit tangis istri Syahruddin, Murianti, 38 terus terdengar.
Setelah mobil berlalu, Ilyas memilih kembali ke lokasi bersama puluhan warga lainnya. Beberapa saat kemudian, dari kejauhan asap tebal langsung mengepul. Salah satu rumah warga dibakar massa. Diduga pembakaran itu dipicu oleh amarah wagra atas kematian dua keluarga mereka.
"Saya tidak tahu dari mana massa sehingga dengan cepat membakar rumah itu," imbuh Ilyas.
****
Hujan terus mengguyur saat Fajar bertamu ke kediaman Murianti, dua hari pascainsiden maut itu. Tenda berwarna Orange di halaman rumah dibiarkan terlepas. Volume air hujan yang terus bertambah tidak mampu ditahan. Puluhan kursi plastik berwarna biru masih bertumpuk. Dibiarkan basah.
Di teras rumah permanen bercat merah muda, seorang lelaki setengah baya duduk menghisap sebatang rokok. Hisapan terakhir dihembuskan saat Fajar mulai memasuki halaman rumah. Sarung miliknya ia selempang di pundak.
Di sebelahnya, seorang gadis muda berbaju putih mengutak-atik handphone miliknya. Di bagian depan baju kaos lengan panjang miliknya bertuliskan "Slowlife". Dicetak warna biru muda. Ia mengenakan celana kain panjang warna hitam.
Kedua orang itu langsung berdiri menyambut Fajar. Lelaki setengah baya yang mengenakan celana hitam dan baju putih berkerah itu mempersilahkan Fajar duduk di kursi sofa di teras rumah. Titik percikan air membasahi setelah Fajar duduk di kursi itu.
Setelah menunggu beberapa saat, dari halaman rumah muncul seorang lelaki tinggi besar menghampiri. Ia membawa payung sebagai pelindung hujan. Di kepalanya terpasang songkok haji. "Sebaiknya kita di dalam agar kita bisa leluasa bicara," ajak, Dr Rate, tokoh masyarakat di Dusun Belampang. Saat yang bersamaan Kepala Dusun Belampang Ilyas Dg Rani juga ikut menggabungkan diri.
Di ruang tengah, tidak ada kursi terpasang. Hanya hamparan kapet tebal warna biru dan selembar tikar plastik. Seisi dinding rumah dicat warna merah muda. Tak ada pernak-pernik tertempel di dinding.
Di karpet itu, seorang perempuan telah duduk bersimpuh. Dialah Murianti, istri Syaharuddin. Di sampingnya, perempuan muda yang sejak awal kedatangan kami duduk di teras rumah. Namanya, RisWamati. Gadis yang baru berusia 18 tahun itu adalah mahasiswa Akademi Keperawatan (Akper) Angin Mammiri. Saat ini ia masih duduk di bangku kuliah semester satu. Ia adalah buah perjalanan hidup pasangan Syaharuddin dan Murianti.
Raut muka Murianti masih sendu. Rismawati terlihat berusaha tegar. Murianti menarik nafas berat. Rismawati duduk terdiam. Pandangannya, lurus mengarah ke atap rumah. Murianti tertunduk dalam. Di titik inilah, ibu dua anak itu mulai mengurai detik-detik awal sebelum suaminya terlibat insiden itu.
Secara pasti, ia tidak melihat langsung kejadian itu. Satu yang pasti, ia bersama sang suami berencana mmbantu adik suaminya untuk menanam jagung di lahan itu. Sehari sebelumnya, adik Syaharuddin bernama Syamsuddin Dg Bani meminta bantuan dari keluarganya untuk menanam jagung. Selain Syaharuddin, Syamsuddin juga memanggil saudaranya Baharuddin DG Nyampa, Dg Rahim yang merupakan mertua Syamsuddin dan beberapa keluarga dekat lainnya.
"Pastinya, saya dengan almarhum pagi itu akhirnya memenuhi panggilan itu," kenang Murianti.
Minggu 23 Nopember, pagi, sekira pukul 08.00 Wita, kedua pasangan suami istri ini pun bergegas ke lokasi penanaman jagung. Saat itu, Syaharuddin mengenakan baju kaos warna kuning dan celana bermotif lorong milik TNI.
Pasangan ini lalu menyusuri jalan raya dengan mengendarai motor Honda Supra Fit warna hitam. Beberapa keluarganya; perempuan dan laki-laki, sudah lebih dahulu berangkat dengan mengendarai mobil. Di mobil itu juga bibit jagung yang akan ditanam turut diangkut.
Menempuh jarak sekira dua kilometer, pengendara motor tak banyak bersuara. Tak berapa lama berselang, motor pun tiba di jalan masuk ke lokasi penanaman jagung. Syaharuddin pun memarkir motor di bawah pohon di pinggir jalan. Sekali lagi, tanpa banyak bicara Syaharuddin langsung beranjak menyusuri jalanan menuju lokasi.
Langkahnya yang cepat tidak mampu terkejar istrinya. Murnianti pun tertinggal di belakang. Punggung dan jejak Syaharuddin langsung lenyap di balik semak belukar yang rimbun di sisi kanan-kiri jalan itu.
Murnianti terus berjalan menyusul suaminya. Saat akan mencapai pinggiran lahan, tiba-tiba beberapa perempuan berhamburan diikuti teriakan histeris. Kaget bukan kepalang, Murnianti menghentikan langkahnya. Tanpa bertanya gerangan yang terjadi, ia juga turut balik badan hendak berjalan.
Namun dari kejahuan ia melihat suaminya, diserang hingga lunglai terjatuh. Tanpa pikir panjang lagi, Murniati kembali melanjutkan ke lahan itu. Emosional yang memuncak melihat suaminya tersungkur jatuh, langsung meledak. Dengan teriakan penuh, ia menghampiri suaminya. Darah telah bersimbah di sekujur tubuhnya.
"Saat itu, ia masih bergerak. Saya balikkan badannya berusaha menolong," kenang Murianti. Kali ini Murianti memperbaiki posisi duduknya.
Ia mengaku tidak mengenal orang-orang yang menyerang suaminya. Ia pun tak mempedulikan berapa orang yang terluka saat itu. Kondisi suaminya yang gawat memecah konsentrasi Murnianti. Untuk beberapa saat Murnianti tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terus meratap memanggku tubuh suaminya yang berjuang meregang nyawa.
****
Kematian Syaharuddin merupakan pukulan terberat bagi istrinya, Murianti. Kepergian tulang punggung keluarganya itu serasa mimpi di pagi hari. Tak ada firasat dan tanda-tanda istimewa yang diperlihatkan sebelum maut itu menjemput.
"Tak ada pesan apa-apa yng dititipkan almarhum," singkat Murnianti.
Kematian suaminya, diakui Murnianti sangat menyayat perasaannya. Apalagi kejadiran suaminya di lokasi itu hanya untuk menghadiri panggilan keluarga, demi membantu menanam jagung. "Sama sekali ia tidak tahu apa persoalan yang sesungguhnya," imbuh Murnianti. (*)
[makassar, 1 desember 2008]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar